Ramadan di Inggris (1)
(Jawa Pos, Senin 1 Nov 2004)
Apakah Islam Itu Sejenis Makanan?
Nurani Susilo, London
KETIKA Anjum Anwar, salah seorang pegiat LSM Islam mengunjungi sebuah sekolah dasar di Inggris dalam rangka proyek yang disebut
Understanding Islam dia disambut dengan pertanyaan-pertanyaan lugu dari murid-murid sekolah tersebut. "What is Islam, is it some kind of food?" Begitu antara lain pertanyaan yang dikemukakan.
Cerita Anjum yang telah mengunjungi 120 sekolah dalam proyek yang bertujuan memerangi Islamphobia di Inggris setelah peristiwa 11 September, seperti ditulis harian the Guardian, menggambarkan bagaimana Islam adalah agama minoritas yang "tidak dikenal" di Inggris, seperti tecermin dari pertanyaan di atas. Banyak warga -- terutama yang tinggal di luar kota-kota besar -- bahkan tidak tahu sama sekali tentang Islam.
Namun, ternyata keminoritasan warga muslim di Inggris, yang berjumlah 1,8 juta atau hanya 3 persen dari total penduduk Inggris yang 60 juta, tidak menghalangi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai muslim, termasuk ibadah puasa pada Ramadan.
Sebuah toko bernama Continental Food di pinggir jalan di kawasan Woolwich, London Tenggara, pada hari-hari belakangan ini lebih ramai daripada biasanya. Antrean panjang terlihat di toko yang menjual daging halal, sayur mayur dan buah-buahan Asia, Afrika, dan Timur Tengah itu. Tampak paling mencolok dari penampilan toko ini sekarang adalah aneka jenis kurma yang dipajang di depan toko, pemandangan yang tidak biasanya dijumpai.
Yang juga berbeda adalah alunan musik yang diputar sang pemilik. Pada hari-hari biasa, terdengar lagu-lagu khas Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) yang iramanya mirip musik dangdut. Sekarang pemilik toko lebih sering memutar lagu-lagu bersyair Islam, yang lebih dikenal dengan nasid.
Memang, suasana Ramadan di Inggris tidak meriah seperti negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Namun, dari kurma yang dijual di berbagai toko di komunitas muslim, dari makin penuhnya jamaah di masjid, dan kian maraknya kegiatan di berbagai organisasi masyarakat Islam, setidaknya sedikit bisa dirasakan, itulah Ramadan ala Inggris.
Tentu tidak ada baliho atau spanduk bertulisan selamat menunaikan ibadah puasa atau acara televisi yang tiba-tiba penuh dengan tema Ramadan. Bahkan, selain di beberapa wilayah yang banyak ditinggali warga muslim seperti Woolwich, di Inggris secara umum tidak tampak adanya perubahan dengan datangnya Ramadan.
Sebab, kegiatan Ramadan di Inggris lebih banyak dilakukan secara internal di masing-masing komunitas atau organisasi Islam. Misalnya, acara buka puasa bersama dan ceramah dengan tema-tema seputar Ramadan serta tema Islam lainnya. Yang juga marak saat Ramadan adalah acara-acara sosial, baik pengumpulan dana untuk membantu negara-negara muslim maupun pemberian santunan bagi warga kurang mampu di Inggris.
City Circle merupakan salah satu yayasan yang setiap Ramadan mengadakan acara tersebut. Beberapa hari lalu, City Circle mengadakan ceramah terbuka dengan pembicara Profesor John L. Esposito. Tema yang dibahas mulai masalah agama sampai dampak pemilihan presiden di AS terhadap Islam dan modernitas. Juga, dibahas tentang pengaruh terhadap perang melawan terorisme.
"Selama Ramadan ini, kami juga mengadakan kegiatan sosial rutin setiap pekan, yaitu memberi makanan kepada para tunawisma di London," ungkap Asim Siddiqui, ketua City Circle.
Ramadan tahun lalu, yayasan Islam yang didirikan para profesional muda tersebut berhasil memberikan 2.700 hidangan kepada para tunawisma di London. Hal itu tentu tanpa memandang siapa mereka. Tahun ini, mereka menyiapkan dana yang berasal dari sumbangan sukarela hingga ribuan poundsterling untuk menyiapkan hidangan di berbagai shelter (tempat singgah) tunawisma yang mereka dirikan selama Ramadan di London.
Yayasan yang rutin mengadakan pengajian bulanan di luar Ramadan tersebut juga mengadakan Saturday school selama Ramadan untuk anak-anak. Di sekolah itu, anak-anak belajar membaca Alquran dan pengenalan Islam. Juga, belajar mata pelajaran yang mereka hadapi di sekolah reguler.
Tidak semua warga muslim tergabung dalam organisasi-organisasi Islam semacam City Circle. Mereka biasanya aktif dalam pengajian antarkomunitas. Misalnya, komunitas Muslim Asia Selatan, Muslim Somalia, dan Islam Indonesia. Namun, batas komunitas berdasar negara asal tersebut tidak mutlak. Artinya, banyak juga warga asal negara lain yang bergabung. Misalnya, muslim asal Indonesia banyak yang bergabung di komunitas Malaysia atau Pakistan, begitu juga sebaliknya.
Pusat kegiatan mereka, biasanya, ada di masjid atau Islamic Center. Di Masjid Woolwich, misalnya, selama Ramadan ini selalu penuh sesak dengan jemaah yang sebagian besar berasal dari Asia Selatan dan Afrika Utara. Setiap malam diadakan ceramah dan salat tarawih yang dilakukan dalam dua tahap, pukul 21.00 dan pukul 23.00. "Tarawih pukul 23.00 itu diadakan untuk mengakomodasi jemaah yang bekerja di toko atau restoran," kata Arifin, warga Indonesia yang tinggal tidak jauh dari Masjid Woolwich.
Masjid atau Islamic Center itu juga yang menjadi tumpuan warga muslim Inggris untuk memperoleh informasi mengenai jadwal puasa dan jadwal salat. Central Mosque di kawasan Baker Street, masjid terbesar di London, menjadi pusat informasi Islam di Inggris. Pemerintah Inggris tidak ikut campur dalam urusan agama alias memisahkan kehidupan beragama dengan negara.
Selain suasana, perbedaan yang mencolok Ramadan di Inggris adalah waktu puasa yang pendek. Sebab, Ramadan dalam beberapa tahun terakhir jatuh di musim gugur awal musim dingin. Semakin mendekati akhir puasa, semakin pendek pula waktu berpuasa.
Pada Ramadan kali ini, misalnya, di hari pertama, imsak jatuh pada pukul 05.24 dan magrib pukul 18.10. Tetapi, pada hari terakhir puasa, 13 November, imsak pukul 05.10 dan magrib pukul 16.16 (ini berarti lebih singkat sekitar satu jam dibandingkan dengan di Indonesia). Keuntungan lain dengan Ramadan di musim gugur atau musim dingin adalah cuaca begitu dingin, sehingga umat Islam yang berpuasa di Inggris tidak merasa haus.
Jangan iri dulu. Sebab, dalam beberapa tahun mendatang, Ramadan kembali jatuh di musim panas. Artinya, waktu siang menjadi sangat panjang. Dalam keadaan seperti itu, pukul 03.00 dini hari telah masuk imsak, sementara magrib bisa jatuh setelah pukul 21.00 (ini berarti bisa lebih panjang sekitar lima jam dibandingkan dengan di Indonesia). Belum lagi, udara luar biasa panas, sedangkan rumah dan transportasi Inggris lebih dibuat untuk cuaca dingin. Jadi, rumah menyediakan pemanas, tetapi tanpa AC.
Kesamaan Ramadan di Inggris dengan Indonesia adalah berlimpahnya makanan untuk berbuka puasa. Tradisi makan enak untuk berbuka ataupun sahur ternyata sama di mana pun kaum muslim berada. Di Inggris, di kawasan mayoritas pemeluk Islam yang dihuni warga yang berasal dari Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah mempunyai kebiasaan makan besar seperti halnya di tanah air.
Bahkan, karena porsi makan mereka tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan porsi makan orang Indonesia, makanan selama Ramadan di Inggris terasa jauh berlimpah-limpah. Asal ada acara berbuka bersama, muslim asal Indonesia pasti akan kewalahan menghabiskan porsi makan yang disediakan. Rasanya? Tidak kalah enaknya karena seperti masakan Indonesia. Masakan negara-negara muslim tersebut memakai banyak bumbu dan juga pedas.
Islam bukan sejenis makanan, melainkan agama,
a religion. Tapi, adalah benar kalau pemeluk Islam senang menyediakan banyak makanan. Begitu mungkin jawaban sederhana yang bisa diberikan pada murid SD yang dikunjungi Anjum Anwar. (bersambung)