Wednesday, December 31, 2003

Victoria oh Victoria

Siapa bertengger di nomor 1 celebrity yang diharapkan berkurang pemberitaannya tahun depan? Victoria Beckham (versi the Guardian).

Victoria, salah satu dari pasangan paling terkenal di Inggris Posh and Becks memang selalu dibenci media di Inggris. Dibenci bukan berarti tidak diberitakan (ingat kasus boikot wartawan hiburan Ind terhadap Desi Ratnasari), justru Victoria lah yang paling banyak ditampilkan di halaman satu tabloid atau majalah entertainment. Alasannya: gambar posh di sampul majalah menjadi jaminan penjualan.

Tetapi lucunya, isi dari semua pemberitaan media hampir selalu negatif, ia yang tidak "berkelas " lah atau di istilahkan sebagai the Essex girl. Tidak bisa menyanyi, rude, mendompleng ketenaran suaminya, dll yang serba jelek. Dan orang Inggris membeli majalah atau tabloid juga berharap mendapat cerita jelek Victoria.

Sebaliknya tulisan tentang David Beckham akan berisi pujian-pujian dari mulai style-nya: baju dan rambut ataupun prestasinya di sepakbola hingga selalu digambarkan sebagai bapak yang baik. Tidak sekalipun saya baca tulisan Victoria dipotret sebagai ibu yang baik bagi Romeo dan Brooklyn.

Pokoknya kalau media Inggris berbicara tentang Victoria, tidak ada baiknya secuilpun. Bahkan acara celebrity behaving badly di Sky One menyatakan bahwa pekerjaan terburuk dan paling menyedihkan bagi seorang manusia adalah menjadi asisten pribadi Victoria. Sebegitu buruknya media menggambarkan Victoria.

What’s wrong with Victoria? "I don’t know. Apa pun yang saya lakukan akan selalu dipandang salah," katanya suatu waktu. Sebagai satu-satunya angota Spice Girl yang lagunya tidak pernah menjadi nomer 1 di chart Inggris adalah lahan paling subur bagi media untuk semakin menjelekkan Victoria.

Minggu-minggu terakhir ini ia gencar berpromosi album barunya hasil kerja sama dengan Damon Dash rapper asal Amerika. Apa kata media tentang itu, " poor old Victoria, ketika kita tengah menanti pergantian tahun dengan besantai-santai, ia desperate untuk lagunya menjadi nomor 1".

Ketika minggu lalu ia tampil di acara talk show BBC, froday night with Jonathan Ross( dalam rangkain promosi albunya tentu saja) apa pertanyaan pertama Jonathan," When, will you stop singing?" Ada juga acara the 'Real' Beckham di malam natal yang menceritakan kehidupan pasangan ini selama 6 bulan sejak Beckham pindah ke Real Madrid. Program satu jam yang ternyata lebih tentang Victoria dibanding apa yang disebut di judulnya mencoba membalik pandangan umum tentang Victoria , bagian dari promosi albumnya juga. Berhasil? No way.

Saya (tentu saja ) tidak kenal Victoria, tetapi dari apa yang saya baca dan lihat di TV cukup untuk saya bergabung dengan mayoritas di Inggris: pembenci Victoria. Tidak adil memang, seperti yang dikatakan suaminya."Saya pikir people sudah men-judge Victoria bahkan sebelum ia melakukan apa-apa," kata Beckham tentang istrinya.

Dan pembelaan Beckham tampaknya tidak ada habisnya, di setiap kesempatan ia selalu menunjukan cintanya pada istrinya. Dan kebencian publik juga tidak mengurangi penghasilan Victroria, justru sebaliknya. Designer terkenal berebut mendandaninya dengan maksud bajunya akan banyak di foto. Sementara celebrity seperti Elton John, Elizabeth Harley, Sharon Oshbourne, Enrique Igglesias berebut jadi temannya.

Jangan-jangan itu lah alasan sebenarnya kebencian media dan juga publik di Inggris, iri dengan apa yang ia punya. Ia yang bersuamikan the sexiest man on the planet, ia yang punya uang tanpa batas, keluarga yang bahagia, teman-teman celebrity A-list: woman who has everything.

Ketika seorang wanita punya segalanya, memang ia cenderung akan dibenci. Tetapi kalau laki-laki yang punya segalanya maka ia akan di puja. Inggris selalu berharap yang terbaik untuk David Beckham tetapi justu bersorak ketika lagu Victoria kembali gagal menjadi nomor 1 di chart minggu terakhir tahun ini. Setidaknya wanita itu tidak memiliki segalanya.

*Menjadi nomor satu tangga lagu di akhir tahun, atau dikenal sebagai cristmas number 1--adalah yang paling bergengsi di Inggris. Tiap perusahaan rekaman dan penyayinya bersaing keras dan promosi habis-habisan untuk albumnya paling banyak di beli sebagai Cristmas present.
*Setelah berkali-kali gagal, Victroria Beckham menganti manajernya dan bergabung dengan Simon Fuller, sosok dibalik sukses Spice Girl, yang juga manajer musik paling sukses di Inggris. Menjual nama David Beckham adalah salah satu strategi Simon, tetapi tangan dingin Simon Fuller dan nama besar David Beckham pun tidak mampu mendongkrak pernjualan album Victoria.
*Akankah Victoria give up singing setelah ini? It doesn't sound like her.

Tuesday, December 30, 2003

Revolusi Jamie dan Delia Power

Jamie Oliver namanya. Chef atau koki muda kenamaan di Inggris ini ditemukan secara tidak sengaja empat tahun lalu. Produser BBC yang tengah memproduksi acara masak di River Café, restoran Italia di London tempat Jamie bekerja, mendapati chef muda yang antusias, passion tentang masakannya sekaligus juga cool.

Produser jeli itu kemudian meggodok proyek pembuatan seri acara masak dengan Jamie Oliver sebagai bintangnya. Ditampilkan funky, mengobrol dengan kru ketika memasak, menampilkan teman-temannya yang juga keren, muncullah di BBC 2 acara masak baru dengan judul the Naked Chef

"It’s the food, silly. Not me naked,"kata Jamie sambil tiduran di sofa mengawali serial mingguan sepanjang setengah jam yang berhasil mengubah pandangan tentang chef dan memasak di Inggris. Kata-kata baru pun ia ciptakan, yang paling terkenal adalah pukka, bahasa Jamie untuk enak. Serialnya menjadi hit dan ia pun menjadi selebritis yang diundang kesemua pesta bertajuk "the hottest ticket in town", termasuk pesta David dan Victoria Beckham.

Apa kelebihan Jamie? Ia mengubah citra memasak sebagai sesuatu yang keren sekaligus juga fun. Ia yang sering menumbuk dengan gilingan roti, memanggang diselingi main basket, tetapi juga kenal baik dengan pelayan toko tempat ia membeli bahan masak. Namun juga tetap punya teman-teman nongkrong yang keren.

Acara the Naked Chef yang diisi dengan obrolan seru, polah kocak Jamie, dan menghasilkan masakan yang "mouth watering" bagi yang menonton. Di tutup dengan pesta atau sekedar kumpul-kumpul di apartemen Jamie dengan hidangan hasil olahannya itu.
Kadang dalam rangka menyambut temannya, menampung teman-teman ceweknya—cewek-cewek cantik—usai night out bahkan juga sekedar menghabiskan malam dengan karibnya: alias makan di depan TV ditemani berkaleng-kaleng bir.

Kini ia punya dua restoran terkenal di London, yang terbaru adalah fifteen hasil proyeknya mendidik 15 orang pemuda pengangguran menjadi chefs handal. Proyeknya ini juga menjadi serial sukses di Channel 4 berjudul Jamie's Kitchen. Kini ia berusia pertengahan dua puluhan, berputeri dua dari istrinya Jool, mantan model yang sejak pacaran rajin muncul di the Naked Chef.

Sainsbury, supermarket kedua terbesar di Inggris pun mengontraknya menjadi bintang iklannya. Hasilnya, penjualan meroket dan muncul pula produk-produk Sainsbury dengan memasang nama Jamie di kemasannya. Laris manis, terutama untuk fans Jamie: anak-anak muda Inggris yang kini punya hobby baru memasak. Instead of beli pizza atau take away, kini pesta-pesta anak muda di Inggris lebih sering hasil masak-memasak sendiri ala Jamie.

Sementara Delia Smith adalah ibu yang menjadi guru bagi semua rumah tangga di Inggris. Program memasaknya yang telah puluhan tahun disiarkan BBC menjadi acuan ibu-ibu menyiapkan hidangan di rumah. Dari mulai bagaimana merebus telur yang benar hingga hidangan pesta natal diajarkan Delia dengan tekun step by step.

Berbeda dengan Jamie, Delia memasak dengan tertib, temponya lebih lambat dan satu persatu diterangkan dengan detail. Tetapi kekuatannya bahkan melebihi Jamie, terutama dalam hal menggerakan massa secara nasional! Suatu hari sainsbury dan supermarket lain di Inggris kehabisan telur. Semua manajer pun bingung dengan peristiwa langka: telor di mana-mana out of stock!

Apa sebabnya? Ternyata malam harinya di BBC, Delia menampilkan bagaimana mengolah telur, makanan murah sehari-hari, menjadi istimewa. Dadar (omelette) istimewa, ceplok telur yang tidak gosong, hingga membuat telor setengah matang yang sempurna. Begitu indah ia mendemonstrasikan hidangan serba telur, semua yang menonton malam itu - menurut BBC acaranya ditonton jutaan orang - memutuskan membeli telur dan mencobanya ala Delia.

Tidak hanya itu kehebatan Delia Power. Ketika ia mengungkap rahasianya membuat coklat cake adalah menambahkan bubuk tertentu. Maka penjualan bubuk tersebut meroket hingga 200 persen di seluruh supermarket Inggris.

Tidak heran kalau ia dinobatkan The Guardian sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di media. Alasannya ya itu tadi ia bisa membuat Inggris kehabisan telor, padahal stoknya bertumpuk-tumpuk di supermarket dan jenisnya pun bermacam. Delia pula yang membuat suami saya betah menonton acara masak di televisi, dengan tekun suami saya mengikuti petunjuk Delia cara mengupas mangga yang benar hingga memanggang ayam dengan benar.

Ternyata acara memasak, kalau ditampilkan dengan baik, jauh lebih berguna daripada sinetron atau serial hantu-hantuan. Kalau saja ada pemilik atau produser televisi Indonesia membaca tulisan ini. Anyone?
Dia yang menjadi perantara-Nya …

Namanya Sururi Al Faruk, biasa dipanggil Sururi atau kadang juga Faruk atau saf, kode tulisannya. Adalah yang menjadi teror bagi saya sehari-hari –dan saya tidak heran kalau anak-anak Jawa Pos Jakarta juga merasakan yang sama—ketika masih menjadi "pejuang" di Jakarta.

Ia yang selalu pertama datang di redaksi, ia pula yang paling akhir meninggalkan kantor. Dan siang harinya ia akan berkeliling di lapangan, memantau perkembangan, menjalin relasi dan tentu saja mengecek anak buahnya. "Tuh, ada boss mu," begitu Anu, wartawan Rakyat Merdeka yang berkantor di atas Jawa Pos selalu meledek saya. Belum lagi terornya lewat telpon yang tidak kalah ampuh. ‘"Opo sing rame", nadanya lembut tapi membuat panik yang menjawab. Apalagi kalau ditelpon saat berita sepi dan tengah nongkrong dengan kawan seperjuangan di warung padang belakang DPR atau tongseng di belakang Bappenas.

Jabatannya resminya adalah Redaktur Pelaksana, tetapi di kantor saya dulu artinya juga mengedit berita, mengurusi "kesejahteraan" anak-anak (dibantu Bu Ning), mengatur libur (kalau ada libur), menampung keluh kesah, bahkan juga menjadi tempat melapor kalau mau pulang. "Pulang ya Mas", pinta saya tiap malam. "Wartawan masih jam segini kok dah mau pulang. Arep ngopo tho?"jawabnya. Bagi Sururi, tidak ada istilah meninggalkan kantor sebelum jam 11 malam, meskipun kalau ada alasan kuat ia akan memberi keringanan.

Tetapi pulang ke rumah kost pun bukan berarti selesai teror hari itu. Tidak jarang ketika ada perkembangan berita baru atau menemukan keanehan dengan berita yang ia edit, kembali kami akan di telpon. Dan wajib datang lagi ke kantor. "Apa ini maksudnya", begitu sambutan yang akan kita terima ketika nongol lagi di kantor. Dengan muka bantal, karena tidak jarang kita sudah tertidur pulas ketika panggilannya berdering, terpaksa harus menjelaskan kembali berita yang kami tulis.

Tidak hanya membangunkan tidur, terornya punya daya jangkau yang sangat jauh. Suatu hari misalnya, dalam perjalanan sowan calon mertua di KA Argo Lawu Jkt-semarang, telpon saya berdering. "Mana beritamu,"teriaknya. "Ada di disket di meja sampeyan," jawab saya panik. "Apa!? Itu berita kemarin, hari ini sudah muncul di Rakyat Merdeka," kembali ia berteriak.

Hari Jumat siang usai liputan, teman-teman dari beberapa koran besar sepakat untuk menyimpan berita itu untuk stok hari Senin. Saya oke saja, toh Kompas, Media Indonesia dan yang lain baru akan keluar Senin. Tetapi Anu, entah lupa/tidak tahu dengan kesepakatan itu atau kepepet mencari berita menurunkannya di hari Minggu. Bencana buat saya.

Setelah telpon dari Sururi itu, hilang kepanikan saya akan ketemu calon mertua untuk pertama kali. Sisa perjalanan bahkan sampai di Welahan --kampung (saat itu) calon suami--pikiran saya penuh dengan kemarahan Sururi dan kemarahan saya pada Anu. "Sorry..sorry,"kata Anu ketika saya teruskan kemarahan Sururi padanya.

Saya pernah bertanya ke beliau," Mas, Istri sampeyan apa nggak protes, kalau aku pasti marah suami tidak pernah ada di rumah," Jawabannya singkat, "udah bosen protes". Begitulah Sururi, wartawan yang bekerja paling keras di Jakarta, setidaknya yang saya tahu. Tetapi itu bukan sebuah rahasia, siapa pun yang kenal Sururi pasti akan membenarkan.

Rapat Kerja Komisi I dengan menteri Dalam Negeri di gedung lama DPR akhir 1997, adalah awal perkenalan saya dengan Sururi. Saat itu saya wartawan baru dan bekerja di Berita Buana sementara Sururi beserta gank-nya,tengah menunggu Mendagri Yogi S Memet. Dia menyodorkan kartu nama: Sururi Al Faruk, wartawan Jawa Pos begitu tertera di kartunya. "Gue dah bertahun-tahun bareng Sururi, nggak pernah lihat kartu namanya,"ledek Edy wartawan KR yang disambut pembenaran rekannya dengan nada meledek.

Sama-sama di Politik saya pun sering ketemu Sururi, di DPR atau acara ABRI terutama. Ia selalu hadir berombongan dengan Putra Nababan, Budi PR, Edy KR, USH Kompas, (Alm) Eko dll wartawan yang saat itu bermarkas di depdagri. Belakangan saya tahu, Sururi adalah salah satu yang paling top untuk liputan politik. Bahkan kala berita sepi, ia pula yang diandalkan untuk "menciptakan" isu baru yang esoknya akan menjadi headline di seluruh surat kabar di Indonesia. Ingat polemik Sipil-Militer Prof Dr Juwono Sudarsono, menurut cerita Mbak Nina 'poy'Republika Sururi lah yang memulainya.

Sururi pula yang saya jadikan patokan bagaimana mengejar narasumber, khususnya untuk berita-berita di belakang layar. Ia juga yang dengan tekun membujuk saya untuk "memperhatikan" Susilo(tanpa yang bersangkutan tahu), anak buahnya di Jawa Pos. Pengaruhnya yang besar membuat teman-temannya juga melakukan hal yang sama ke saya. Jadi kalau ada pihak yang paling berjasa dengan perkawinan kami, Sururi pula orangnya. Meskipun ia pula yang paling kaget (dan pasti bahagia) ketika kami mengumumkan rencana pernikahan kami.

Tidak hanya itu, ketika saya terancam PHK, Sururi pula yang menolong saya. Saya disuruhnya membuat lamaran ke Jawa Pos, ia juga memberikan rekomendasi. Jadi meskipun saya ikut tes seleksi, tetapi faktor Sururi lah yang lebih berperan. "Yah saya percaya saja sama Pak Sururi",begitu Pak Abror, Pemred Jawa Pos berkata, ketika seharusnya ia menginterview saya.

Dan satu hal yang paling berat dari kepindahan suami saya ke BBC adalah meninggalkan Sururi. Ketika kami pamitan, ia tengah terbaring menggigil di Rumah sakit Permata Hijau dekat kantor. Terserang typus sementara Jawa Pos sedang dirundung masalah dengan NU, bahkan Graha Pena Surabaya diduduki banser hingga tidak terbit sehari. "Mau jadi orang London nih," katanya lemah dan air matanya pun berlinang. Baru sekali itu saya melihat Sururi menangis.

Tidak hanya itu, ia juga yang memperjuangkan saya untuk bisa meneruskan menulis di Jawa Pos dari London. Dan salah satu yang paling saya senangi dari itu: kembali saya mendapatkan terornya! Jarak JKT-London tidak menghalanginya untuk berkali-kali menelpon dalam sehari hanya untuk mengikuti perkembangan tulisan saya. "Punya pacar baru nih," ledek suami saya yang tahu kalau saya "menikmati" kembalinya teror Sururi.

Maka kami pun tidak tahu apakah bergembira atau bersedih ketika beberapa saat lalu, kami mendapat kabar bahwa ia tidak lagi di Jawa Pos. Berhari-hari saya dan suami saya terbengong-bengong, tanpa ada kata yang terucap. Mungkin akhirnya ia mendengar protes istrinya atau alasan lain. Hanya Sururi yang tahu alasnya meninggalkan media yang ia turut besarkan.

Tapi saya dan teman-teman yang kini masih ada di Jawa Pos Jakarta –katanya sudah pindah ke gedung baru yang mentereng—akan selalu merindukan terornya. "Aku lama tidak baca tulisanmu. Aku cek terus lho, kamu jarang nulis ya," katanya lewat email mengingatkan saya bahwa seorang Sururi tetaplah Sururi.

Kata terima kasih tidak akan cukup membalas apa yang Anda lakukan kepada kami. Good luck and wish U the best
There is only one Harrods, there is only one sale: Harrods Sale!

Begitu bunyi tulisan di bendera-bendera merah yang selalu berkibar di pertokoan termewah di London di musim sale. Dan hari ini, 29 Januari 2003 bendera itu kembali dikibarkan sampai 24 Januari nanti.

Benar kata bendera itu, Harrods cuma ada satu, yaitu di London tepatnya di kawasan Knigtsbridge. Ada satu toko lain di Bandara Heathrow London, tetapi hanya menjual sedikit cendera mata bermerk Harrods. Pernah memang ada ide untuk membuat cabang Harrods, tetapi banyak pihak yang tidak setuju dengan alasan akan mengurangi nilai eksklusif Harrods.

Dan meskipun banyak toko juga sale, tetapi there is only Harrods sale! Adalah Harrods sale yang membuat kereta underground Picadily Line penuh sesak, bahkan tadi stasiun Knigtsbridge harus ditutup karena terlalu penuh. Hanya Harrods yang kala sale, pembelinya sengaja datang dari penjuru dunia, Amerika, Eropa Timut Tengah dan juga Asia, terutama Jepang.

Berbelanja the one and only harrods sale itu ada triknya. Setidaknya menurut pengalaman saya dan beberapa teman saya. Datanglah di hari-hari pertama sale dan kembali datang di hari terakhir sale, the last three day terutama! Selain memang tidak akan cukup Anda berkeliling kelima lantai Harrods dalam waktu sehari tetapi, ada maksud lain dari "strategi" kunjungan berulang itu.

Di Hari pertama, kita bisa browsing barang apa yang di sale, harganya berapa dan apa yang kita inginkan dari barang-barang itu. Kalau sudah diincar lama dan memang diperlukan, ambil saat itu (jangan salahkan kalau barang tidak ada lagi dan tidak bisa tidur karenanya).Tetapi kalau tidak begitu perlu, tidak begitu kepengin atau harganya masih terasa kemahalan tunggulah sampai minggu kedua, ketiga atau bahkan terakhir. Karena semakin hari, harga akan semakin turun, stiker sale akan ditutup dengan further reduction sampai akhirnya sampai final reduction.

Tadi saya bersama Karin dan Tomi (meninggalkan kirana dan ayahnya di rumah, dengan alasan kemanusiaan)ikut berdesak-desakan di hari pertama sale. Kita langsung menuju ke Harrods World, tempat barang-barang bermerk Harrods, bagi orang Indonesia di London biasanya untuk oleh-oleh ke Indonesia. Dapat tas-tas Harrods seharga £ 2,95 sebiji, meskipun perlu perjuangan yang nyaris membuat Karin menyerah."Lo yang ambil deh,kan lebih militan. Gue minggir dulu",katanya sedikit panik terjepit di tengah orang-orang kalap. Saya dan Karin beli beberapa untuk persediaan. Kalau ada yang pulang tinggal di bungkus, jadilah oleh-oleh. Murah, cantik dan cool boo, Harrods! Pasti dipikir mahal dan tidak dipalsukan di Blok M.

Perburuan saya selanjutnya (selalu) adalah baju anak-anak, maklum ibu-ibu. Tadi baru 40% sale, lumayan juga. Tetapi karena tidak termasuk kategori perlu sekali dan kepengin sekali. Maka cukup lah menghapal harga dan tempat baju yang perlu saya tengok lagi di akhir nanti.

Tidak disangka, ketemu dua pasang sepatu by Kenzo berukuran 25 untuk anak usia 4 tahun. Sudah ada tiga tempelan harga, mulanya £24,99 di sale menjadi £19,99, further reduction £19.99 akhirnya sale tertera £9,99. ‘’Lucu dan bagus tapi masih mahal’’ kata saya ke Karin, tetapi ternyata di sebelah £9,99 ada tulisan pakai ballpoint £4,95. Tidak yakin datang saya ke kasir, minta di scan untuk mencek harga yang sebenarnya.

"Yep, It’s £ 4,95" kata kasir. "Horeee", hati saya berbunga. Dapat bargain di hari pertama! Dua-duanya saya ambil karena biarpun modelnya sama tetapi warnanya beda. Sepatu Kenzo seharga dua potong tempe di London, siapa nolak!

Nah, kejadian stempel harga yang bertumpuk itu lah alasan kenapa kita perlu datang lagi di hari-hari akhir sale. The last three day nanti, untuk barang yang memang harus hilang dari toko musim ini, berarti akan dipotong harganya habis-habisan.

Tidak hanya £4,45, saya sering mendapatkan baju-baju Kirana hanya dengan harga £0,99 alias 99 pence, £ 1,99 atau £ 2,99. dan baju-baju itu bukan sembarangan: DNKY, Dior, Kenzo, you name it, merk yang tanpa sale tidak terbayang akan ada di lemari rumah saya. Tahun lalu di hari terakhir Harrods sale saya dapat jeans DNKY dan Calvin Klein buat suami saya hanya dengan harga £ 8 each! Itu yang saya ingat, yang lain banyak, apalagi punya Kirana.

Seandainya saya di Jakarta, memakai baju bermerk designer Luar negeri paling juga yang palsu. Karena tidak akan mampu beli aslinya. Hidup di London membuat saya bisa memiliki merk-merk yang dulu saya hanya bisa mengagumi dari balik kaca etalase Plaza Senayan atau Plaza Indonesia. Anda kini tahu mengapa? Yang pasti bukan karena kini saya kaya dan banyak uang.

Tetapi karena saya belanja di tempat yang tepat dan waktu yang tepat. The right place and the right time. Jadi kalau suatu saat Anda bertemu saya dan memakai barang bermerk, Anda tahu dimana saya mendapatkannya dan kira-kira harganya berapa.

Statistik pendukung:

*£1 sekitar Rp 13,000-an
*Tempe satu potong di London = £ 2,40
*Satu ikat kangkung= £2,50
*Tahu China per biji= £ 1,20
*Kecap ABC botol besar= £2,30
*Sambal ABC= £1,30

Sunday, December 28, 2003

I’ve Queued at Wimbledon

Adalah bunyi stiker yang menjadi tanda mata turnamen tennis Wimbledon yang tiap tahun diselenggarakan di London Barat Daya, atau bagi orang London dikenal dengan SW 19.

Stiker sederhana, yang berarti "saya telah mengantri di Wimbledon" adalah awal perkenalan saya dengan budaya antri di London. Heran, tentu saja. "Apa istimewanya mengantri, sampai penggemar tenis di Wimbeldon bangga untuk mengenakan stiker itu", pikir saya yang baru datang ke London. Bahkan beberapa orang mengoleksi dari tahun ke tahun stiker berbentuk bulatan kecil yang hanya beda warna dan tahun keluaran.

Wimbledon sebagai turnamen tertua dan paling terkenal di dunia, tentu saja menjadi daya tarik bagi penggemar tenis. Bahkan menonton di centre court, lapangan utama di Wimbeldon bagaikan 'ibadah haji' bagi para penggemar tennis. Dan antri memasuki arena turnamen adalah tradisi yang tidak bisa dipisahkan dengan turnamen lapangan rumput itu. Jangan bayangkan dengan antri membeli tiket bioskop di Indonesia. Mendapatkan tiket ke Wimbeldon perlu perjuangan yang luar biasa.

Sejak tiga tahun lalu, sebagai penggemar tenis (maksudnya: nonton bukan bermain tenis!)saya bercita-cita untuk menonton Wimbeldon di Centre court. Maklum sejak SMP, saya tekun menyimak turnamen tersebut di televisi. Yang saya ingat adalah, kalau hujan maka lapangan akan ditutup kain terpal yang ditarik oleh para ballboy yang telah siap di pinggir lapangan.

Maka dengan yakin dan semangat membara saya meninggalkan Kirana yg masih bayi dengan ayahnya, berangkatlah ke Wimbledon pk 4 pagi hari. Karena pejalanan naik kereta hanya 1 jam maka saya perkirakan akan berada di urutan terdepan antrian.

Tapi apa yang terjadi, di depan saya telah ada ribuan orang yang telah mengantri semalaman, bahkan dari kemarin pagi!. Dari depan gerbang Wimbledon berbaris rapi sampai ke park (lapangan) di seberang jalan. Antrian yang berkelok-kelok, lengkap dengan tenda dan peralatan masak, bahkan kursi-kursi lipat seakan menertawkan saya. Saya yang terengah-engah karena berlari dari stasiun Southfield disambut dengan ribuan orang yang berderet rapi disamping tenda sambil menggoreng sarapan, ngopi dan membaca koran.
Begitulah, hal yang ketika itu susah untuk saya mengerti, "kok bisa mengantri tapi dinikmati, pakai bangga lagi".

Oke, saya suka nonton tenis, tapi kalau harus mengantri semalaman tidur di tenda ditengah guyuran hujan untuk mendapatkan tiket (yang kalau esoknya hujan turun menjadi sia-sia karena pertandingan akan dihentikan )rasanya kok tidak tega pada diri sendiri.

Jadi begitulah, tiga tahun saya di London tetapi masih mengandalkan televisi untuk menonton turnamen tenis yang saya cintai meskipun jaraknya kini begitu dekat. Yang lebih menambah derita, suami saya, sebagai wartawan BBC (pemegang hak siar Wimbeldon) mendapatkan pass masuk ke Wimbeldon. Dan yang membuat lebih marah lagi, suami saya sama sekali tidak suka tenis. Bahkan kalau saya menonton pertandingan di TV yang kadang baru berakhir setelah 3-5 jam ia akan berkomentar: "Heran deh, dari tadi nonton tenis mulu".

Pernah saya berniat untuk memalsukan foto di pass suami saya, saya ganti dengan foto saya. Tetapi rupanya banyak kejadian seperti itu sehingga dibalik kartu tersebut dan juga di media guide disipi warning : Jangan coba-coba memberikan pass ini pada orang lain!

Kembali ke soal antri, Wimbeldon adalah contoh paling ekstreem dari budaya antri di London. Meskipun peluncuran setiap buku baru Harry Potter juga tidak kalah militan, dimana orang juga mengantri semalaman di depan toko buku. Tetapi di London, antri akan Anda temui dimana-mana, beli makanan, beli tiket, naik bus, naik train, bayar di kasir..dimana pun. Dan jangan sekali-kali mencoba menyerobot antrian, selain tidak akan dilayani juga pasti dimaki pengantri yang lain.

Saya ingat pengalaman naik KRL Depok-Jakarta. Kalau kereta penuh maka akan susah keluar karena diserbu penumpang yang akan masuk. Tetapi di London di setiap stasiun, penumpang kereta yang akan masuk tertib mengantri menunggu penumpang yang ada di kereta turun dulu.

Ada satu antrian yang paling membuat saya kagum. Beberapa waktu lalu dalam pengadilan kasus "dokumen pemerintah tentang alasan penyerbuan ke Irak", yang kemudian menyebabkan bunuh diri salah satu panasihat pemerintah DR Kelly. PM Tony Blair di panggil ke pengadilan untuk memberikan keterangan versi pemerintah.

Malam hari sebelum TB dijadwalkan tampil dipengadilan, ratusan orang dan banyak diantaranya mahasiswa mengantri semalaman (juga dengan tenda dan sleeping bag) untuk bisa mendapatkan tempat di bangku pengunjung pengadilan.

Bayangkan, mengantri semalaman hanya untuk menghadiri pengadilan! Menonton Wimbeldon dan mengantri buku Harry Potter , (setelah lebih dari 3 th di London) mulai bisa saya mengerti, meskipun tetap ogah untuk ikutan. Tetapi mengantri semalaman hanya untuk menyaksikan Tony Blair memberikan keterangan (bukan pengadilan macam Pak Harto lho) benar-benar membuat saya geleng kepala.***

Friday, December 26, 2003

Ketika Musim Sale Tiba

Kalau natal di London identik dengan berkirim kartu dan kado, boxing day tidak bisa terpisahkan sepakbola (bukan boxing day kalau tanpa sepakbola) maka usai natal berarti mulainya toko-toko sale. Sale yang adalah bener-benar sale (pengalaman di indonesia kalo sale kadang harga sudah dinaikan dulu) harga didiskon dari mulai 20% bahkan sampi 70% bahkan di akhir sale bisa sampai 90% off.

Berarti muncul sifat baru di London: Militan! Begitu istilah suami saya.
Antri semalaman, datang dari subuh adalah hal yang wajar di depan-depan toko dihari pertama sale. Dan begitu berhasil masuk toko langsung..set..set..set, ambil barang seperti ambil kacang.
Satu orang bisa membeli berkeranjang-keranjang. Di London toko-toko pakaian juga menyediakan keranjang belanja seperti yang biasa ada di supermarket Indonesia.

Modus operasinya: biasanya datang berdua suami-istri. Istri langsung menyerbu barang yang dipajang, suami langsung antri dikasir. Mendapatkan spot di depan kasir itu perlu karena akan terjadi antrian pembayaran yang begitu panjang. Akibat dari pembeli yang banyak dengan barangnya yang itungannya ''keranjang'' .

Setelah berhasil lolos dari satu toko, si suami akan menyimpan hasil buruannya di mobil, sementara si istri langsung masuk ke toko berikutnya. Yang akan segera disusul suaminnya untuk mengambil posisi yang sama: antri di kasir.

Sale yang paling militan itu terutama terjadi di toko-toko seperti Next, Gap, Marks and Spencer dan Harrods. Yang memang menyediakan produk untuk seluruh keluarga. Shop until you drop!
Begitu motto-nya.

Saya termasuk orang yang menantikan sale, bahkan hanya berbelanja di saat sale. Terutama untuk baju-baju Kirana, karena memang menghemat paling tidak 50%. Tetapi tidak semilitan orang London asli, alasannya simple : kantong terbatas.

Tales from the sales:
*manajer di Kurt Geiger tahun lalu dilarikan ke rumah sakit karena melerai dua wanita yang tengah berebut tas gucci. Ia dipukul dengan sepatu dan mendapat dua jahitan di kepalanya.
*seorang Japanese shopper, membeli 10 identical tas Mulberry, menyapu bersih di flagship toko dan Harvey Nichols hanya dalam waktu satu jam.
*Dua pelayan toko Jigsaw ngumpet dibelakang tumpukan baju karena stress, ketika pembeli yang kalap menyerbu toko mereka.
*Next sale is so famous sehingga pembeli rela bermalam didepan toko
*Seorang wanita dilaporakan membeli ratusan pasang sepatu dengan harga £260 sepasang, yang kemudian ditempatkan dibeberapa rumahnya yang tersebar dibeberapa benua.

Thursday, December 25, 2003

Justin, Britney dan Westlife

Kirana tentu tidak tahu cerita yang terjadi antara Justine Timberlake dan Britney Spears. Tapi ia sempat sangat suka dengan lagu mereka. Untuk Justine terutama cry me a river (yang dihebohkan ketika video klip-nya menampilkan Britney look alike, karena katanya memang bercerita ttg alasan mereka putus: Britney cheated!)

Lagu Britney yang Kirana suka adalah not a girl not yet a woman. Karena mulai lagi ini, Kirana bisa menyanyi, lagu Britney sebelumnya ia masih terlalu kecil.

Hafal lagu kedua penyanyi itu membuat kami memutuskan untuk "tidak menonton MTV" selagi ada Kirana. Lagunya mungkin dia belum mengerti (sekarang), tapi video klip-nya itu yang lebih membuat kami ngeri. MTV Eropa man, bukan MTV Asia yang masih ada sensor! Inul mah lewat.

Akhirnya, bapak/ibu-nya yang masih sok muda dan pengennya ngikutin perkembangan musik "berkorban" dengan hanya menonton MTV sekali-kali dimalam hari atau menonton pop of the pop (BBC) atau CD:UK (ITV) acara tangga lagu mingguan tetapi menampilkan penyanyinya live di studio (bukan vide klip mereka). Itu pun harus lincah memindah remote control.Atau memutar radio/ CD yang artinya tanpa penampilan penyanyinya sama sekali.

Dan kini, Kirana berpindah suka Westlife, terutama the greatest hits dan Mandy (single terbaru boyband asal Irlandia ini). Setidaknya lagu dan Video klip-nya sopan dibanding Justin atau Britney.

Untuk menghindari MTV, maka kami membelikan DVD Westlife (juga karena ketika di supermarket bagian CD/DVD ia berteriak-teriak Westlife..Westlife minta beli). Hampir tiap hari, ia minta disetel Westlife, di VCD atau di CD player bahkan di komputer kalau saya ngetik.

Sehari-hari TV di rumah kami kalau tidak Westlife, Finding Nemo ya Cbeebies (channel BBC khusus untuk anak-anak dibawah 5 tahun). Tidak heran kalau ia sekarang apal lagu2 Westlife, sambil memegang remote (dipakai sbg microfone) ia pun berdendang I have a dream..and song to sing….dsb.Tidak hanya itu Kirana pun apal urutan lagunya.Lagu Westlife favoritnya adalah Up Town Girl dan kini bertambah Mandy.

*Tapi Alhamdulillah Kirana juga hafal Al fatihah, dan doa-doa pendek sehari-hari secepat ia menghafal lagu, setidaknya bapak/ibunya tidak terlalu merasa "bersalah".***




Serbet di Pintu Oven

Saya punya kebiasaan baru untuk meletakkan serbet (lap) dapur di pintu Oven. Alasannya: Kirana bisa mengelap tanggannya sendiri (serbet itu ada dijangkaunnya) sebelumnya saya letakkan di atas tempat cuci piring, Kirana perlu pertolongan saya untuk mengelap tanggannya.

Kebiasaan ini juga seiring dengan saya baru tahu (setelah mencoba) bahwa mengelap tangan dengan serbet, lebih praktikal ketika sedang memasak, dibanding dengan mencuci tangan dengan air dan sabun. Sebenarnya sudah lama saya tahu ini dipraktekan oleh chef di Inggris yang saya lihat di acara masak di TV. Tetapi saya pikir "ihh jorok , pasti gak bersih dan serbetnya juga jadi kotor, sayang amat".

Begitulah, saya yang masih berotak melayu kadang salah memfungsikan alat pada fungsi sebenarnya. Mengapa kita punya Serbet atau lap memang untuk membersihkan, kalau menjadi kotor begitu memang konsekuensinya. Toh bisa di cuci, apalagi di Inggris, proses mencuci adalah hal yang sangat ringan: Dimasukkan ke mesin cuci. Bahkan kalau mau, tinggal pencet satu tombol, bisa langsung dikeringkan dimesin yang sama.

Ternyata benar kebiasaan chef Inggris itu ,biasanya mereka menggantungkan serbet di pinggangnya, membuat tangan bersih, kering, dan cepat pula. Silakan coba, bahkan tangan berlumur margarin/butter (yang susah dicuci dengan air, karena malah berminyak) pun hilang. Mungkin kebiasaan saya selalu menggunakan air dalam membersihkan sesuatu itu yang membuat saya menolak cara lain yang justru lebih efektif.

Saya tidak meniru mengantungkan dipinggang (kepengin sih biar keliharan seperti chef profesional) karena serbet saya tidak selebar serbet chef. "Inginnya memeluk gunung tapi apa daya tangan tak sampai," begitu lah kalau kata pepatah.

Tapi ternyata kebiasaan meletakkan serbet di pintu oven ini juga semakin OK jika kita habis menggunakan oven, karena masih hangat berarti juga membuat serbet kering. Tapi ini pula yang berpotensi menimbulkan bahaya. Serbet Gosong! Karena ketika menyalakan oven lupa untuk mengambil serbet. Setidaknya ini terjadi sekali di dapur saya, tetapi bukan berarti akan terjadi di dapur Anda.

Satu hal yang membuat saya terharu sehubungan dengan Kirana yang ada dimasa "ingin meniru apa yang saya lakukan", juga memasak. Ia punya satu set peralatan masak memasak lengkap dengan kompor, apron, panci dan sayur atau buah tiruan. Setiap saya memasak ia pun akan sibuk di dapurnya, bahkan kalau saya membuat kue dia akan minta untuk ikut mengaduk atau memasukkan ke cetakan.

Ternyata ia benar-benar memperhatikan apa yang saya lakukan. Well, sering saya lihat dia memarahi boneka-bonekanya: Don't do that, It's not nice! Don't be naughty! dll yang adalah omelan saya sehari-hari ke dia.

Karena seharian saya sibuk dengan pesanan makanan, juga peristiwa bagus di Liga yang harus saya tulis, saya tidak perhatian apa karya Kirana hari itu. Malam hari, saat ia sudah tidur , saya membereskan mainannya diruang tamu dan juga di kamarnya. Ternyata semua serbet dan kain mainannya ditata persis serbet saya di oven! Di pintu oven kompornya, ada dua serbet yang tertata rapi. Di play box (kotak kayu besar tempat menyimpan mainannya) di kamar, ada dua lembar kain kecil ia jepitkan di pintunya.

Tersenyum geli tapi juga membuat saya hampir meneteskan air mata(kembali terjadi ketika saya menuliskan cerita ini). Sesuatu yang begitu sepele yang saya lakukan ternyata tidak lepas juga dari pengamatannya.***

Wednesday, December 24, 2003

Happy birthday, Kirana
Ini tulisan suami saya ketika kirana berulang tahun 20 Oktober 2003

Akhir Oktober 2003, Kirana berulangtahun. Tak terasa Kirana sudah 3 tahun. Rasanya baru kemarin, Rani mengeluh mual dan pusing-pusing. Rasanya baru kemarin, kami memeriksakan diri ke rumah sakit di Newham. Rasanya baru, rumah kami di Upton Park menerima kehadiran penghuni baru.

Kirana sekarang besar. Ia masuk playgroup, seminggu tiga kali. Dan setiap pulang sekolah,begitu kami menyebutnya, Kirana selalu membawa hasil karya baru. Entah itu coretan warna-warni, topi lucu, akuarium mungil, dan pernik-pernik lain.

Kirana selalu bangga dengan hasil karyanya. "Ayah, look at this," teriak Kirana bangga sambil menunjukkan kertas hitam dengan coretan hijau, kuning, dan merah. "It's a firework," katanya sambil tersenyum.

Ia juga senang membantu mummy-nya memasak di dapur. Terutama kalau sedang bikin kue. Kue apa saja, dari kue tawar sampai kue pandan. Biarpun yang terdengar dari dapur justru mereka berdua berteriak-teriak marah.

Tapi Kirana kadang juga badung seperti halnya anak seusianya. "Kirana, ayo tidy up. Ambil mainan dan masukin ke box," kata mummy-nya. Kirana pura-pura tidak mendengar. "Kirana!" kata mummy-nya lagi. Kirana lari ke atas, meninggalkan mainan yang berceceran di ruang tamu.

Kirana turun lagi ke bawah, kali ini sambil menggandeng ayahnya. Kata mummy-nya, Kirana sering "cari perlindungan", dengan kata lain ingin menghindari "tanggungjawab". Kirana mungkin berharap, dengan menggandeng ayahnya, dia tidak dimarahi.

Tapi ia kadang juga baik. Usai bermain, ia merapikan seluruh mainannya, dan setelah itu ia pergi ke kamarnya, minta gosok gigi, dan lantas tidur.

Bila ia tidur, rumah rasanya sepi sekali. Seperti sekarang ini. Di bawah temaram lampu jingga di landing lantai dua, wajah Kirana damai sekali. Good night, Kirana, sleep tight. See you in the morning…

Faishal dan Om Bapak

Faishal adalah anak laki-laki teman saya yang tinggal di kawasan Wimbledon. Ia berumur 4,5 tahun dan Kirana suka sekali berteman dengannya. Setiap kita akan ngaji, Kirana akan bertanya,"Nanti ada Faishal ya?"

Saya dan Kirana beberapa kali menginap di rumah mereka, karena kebetulan dekat dengan Al Ikhlas, tempat kami mengaji dua minggu sekali.Yang paling menyenangkan dari acara sleep over itu , Kirana akan makan banyak sekali, apa saja ia makan bahkan makanan yang di rumah ia tidak suka.

Faishal minum susu, Kirana pun minta susu. Makan spagheti, Kirana juga ikutan. Donat, Cereal, cup cake…Apa saja yang Faishal makan Kirana ikut menyantap.
"Mbak Luluk, boleh ya Kirana di sini saja, biar makannya banyak dan badannya besar,"kata saya menggoda ibunya.

Faishal dan kakaknya Jacob (tapi badannya lebih kecil dari Faishal) memanggil Mas Dwi, ayah mereka dengan Bapak. Panggilan yang tidak dikenal oleh Kirana. Kirana tahu Ayah (panggilan pada bapaknya), Abi (panggilan keluarga kang Asep), Daddy (panggilan bapak teman2nya) atau Om, Tante,Pak De dan Bude. Tetapi kami tidak punya teman yang memanggil 'bapak' kecuali Keluarga Faishal.

Karena itu setiap kali saya menyebut Om Dwi, maka akan diralat Kirana: "Not Om Dwi Mummy, Om Bapak".
Untung ada Karin

Suatu siang, Pak Chandra staf penerangan KBRI menelpon saya: "Ibu, diharap menghadiri pertemuan Duta Besar dengan wartawan Indonesia", katanya tanpa menyebutkan siapa saja yang akan datang.

Beberapa hari kemudian, di depan KBRI saya melihat sosok dari belakang yang rasanya saya kenal. Tetapi takut hanya 'sok kenal' saya pun tidak menegur. "Kayaknya Karin Tempo deh", begitu dalam hati saya. Tiba-tiba muncul satu perempuan lain (belakangan ketahuan namanya Anti, teman beasiswa Karin) berteriak,"Karin hei!" begitu mendengar nama Karin disebut, saya pun langsung berteriak: " Karin..Karin!"

Sesudahnya, bisa dibayangkan: dua perempuan yang saling mengenal tiba-tiba ketemu di suatu tempat yang tidak pernah terbayang sebelumnya: "Histeris!"

Itulah awal mula pertemuan kembali saya dengan Karin, teman saya ketika masih menjadi "pejuang" di Jakarta. Pertemuan yang memberi hikmah bagi kami berdua (terutama saya), seandainya tanpa Karin saya pasti akan sangat kikuk berada di satu ruangan, berdiskusi serius dengan Prof Juwono Sudarsono dan (the worst part is) senior-senior dari kantor suami saya! Bang Asyari, Bang Liston, Mas Arifin, Mas Anton.

Mereka tentu saja kaget (kecuali Bang Liston karena beliau adalah teman dekat bos saya di Jawa Pos) dan saya lebih kaget lagi. "Mampus gue", begitu saya membodohkan diri sendiri. "Siapa sih wartawan Indonesia di London kalau bukan satu rombongan dari BBC seksi Indonesia!Tahu gitu aku nggak datang! Malu hati, ketahuan sebagai wartawan bawah tanah.

Begitulah, Karin menyelamatkan saya hari itu. Akhirnya, masih histeris karena ketemu Karin, hilanglah kepanikan saya. Justru kami yang (tentu saja) duduk bersebelahan asyik bertukar note, ber-gossip ria.

Sejak hari itu, kami selau berdua-duaan menghadiri undangan sana-sini, dari mulai acara resmi para diplomat, tamu Dubes dari Indonesia, sampai sekedar makan-makan. Kini rombongan bertambah, Tomi Lebang, suami Karin yang juga wartawan Tempo. Kadang juga ada Dewi, penyiar TVRI kalau tidak bertabrakan dengan dua acara terpentingnya: shooting dan belanja.

Sesekali kami lanjutkan dengan menginap di rumah, yang artinya begadang sampai dini hari. Setelah selesai dengan diskusi Indonesia; teman-teman dan situasi di Indonesia. Suami saya dan Tomi akan melanjutkannya obrolan tentang komputer, gadget terbaru dll. Sementara saya dan Karin akan membolak-balik katalog: dari argos, ikea, evening standard dll atau membahas acara TV kegemaran kami atau merencanakan pergi bareng mencari toko sale.

Terakhir kami bertiga—berlima dg suami dan kirana—menghadiri acara silaturahmi dikediaman pak Aidinal, orang Indonesia pegawai British Council (pemberi beasiswa Karin). "Apa kabar?" kata Pak Juwono menyapa Karin yang tengah asyik menyantap hidangan.
"Kayaknya beliau heran kali ya, dimana-mana ketemu kita apalagi kalo ada acara makan-makannya", komentar saya yang dibenarkan anggota rombongan yang tengah mengagumi setumpuk ikan bakar di dapur pak Aidinal. "Kali saja nanti setiap tamu di suruh bawa pulang satu-satu". ***


Tuesday, December 23, 2003

Pipis is Pee dan Coklat is Brown

Sebelum masa sekolah, saya dan suami saya menjejali Kirana dengan Bahasa Indonesia, dengan harapan ia akan tetap mengerti bahasa nenek-moyangnya.Tetapi begitu ia sekolah, urusan bahasa ini ternyata merepotkan juga.

Saat ia masuk playgroup saya harus membuat cacatan untuk gurunya. Pipis is Pee..misalnya, karena ia terbiasa berteriak "pipis", maka gurunya pasti tidak paham dan terancam ngompol-lah Kirana.

Selain itu dihari-hari pertama sekolah, sepanjang jalan saya mencuci otaknya dengan: Kirana kalau mau pipis tell your teacher I want to pee, OK! Dan begitu lah berulang-ulang sepanjang perjalanan 10 menit, kita berdua bergumam: I want to pee..I want to pee..I want to pee..Mirip orang gila jadinya. Mungkin "kegilaan" saya di jalan itu membuahkan hasil, terbukti ia tidak pernah ngompol di sekolah.

Kini, saat kirana lebih pintar bahasa Inggris dari bahasa Indonesia, saya kembali kerepotan. Selain mengganti namanya menjadi kiwwaana, ia juga selalu memprotes bahasa Inggris Ibunya yang berlogat banyumas dan belepotan.

Tetapi, masih dengan semangat idealis, saya dan suami saya tetap ngotot untuk menanamkan bahasa Indonesia ke Kirana. Tidak mudah ternyata!
Soal warna misalnya, saya ajarkan warna coklat dengan menunjuk tempat tidurnya: "Look Kirana, ini coklat," kata saya. Bukannya ngerti, ia malah berteriak marah , "No mummy, it’s not chocolate it’s my bed".

Begitulah, pertengkaran demi pertengkaran mewarnai percakapan saya dan kirana setiap harinya. " Rhiannan Mummy, not Rionan!" It’s not kaki mummy, it’s my foot!"