They didn't deserve it, England (and I) did!
Dari kemarin malam (berhenti pk 01 dinihari), dilanjutkan tadi seharian saya marathon mengecat living room, hall & tangga. Dengan maksud bisa menikmati Euro 2004 tanpa ada tanggungan (Janji ke ayah kalau pulang dari Portugal semua proyek mengecat sudah selesai). Akhirnya bisa kelar juga, tepat satu jam sebelum kick of England-France.
Memandikan Kirana, makan malam dan mengantarnya ke tempat tidur. Baru kemudian saya sadari telapak tangan saya melepuh semua gara-gara terlalu keras mengejar setoran. But it's OK, it's worth it. Duduk dengan perasaan puas, menonton bola di living room sambil mengagumi cerahnya warna tembok yang baru.
England played really well, karena itu, tidak seperti menonton pertandingan England yang lain, dimana saya bolak-balik tutup mata atau pergi ke ruangan lain karena tegang, kali ini saya mampu untuk terus menatap layar televisi dan tidak meninggalkan tempat duduk. Saya yakin Inggris menang, kedudukan 1-0 dan pertahanan England terlihat rock solid.
Pertandingan berakhir empat menit lagi (tambahan waktu 3 menit), saya sudah siap akan menulis untuk edisi Selasa. I was so happy, everything was perfect: pekerjaan terberat sudah beres, England menang melawan Prancis, bahan tulisan sudah terkumpul di kepala. Nothing can go wrong!
BUT I WAS WRONG!!!Di menit ke-90, France mendapatkan free kick, ditendang Zidane 1-1! Saya masih belum percaya dengan apa yang saya lihat ketika kemudian David James mengganjal Thierry Henry and PINALTY! Zinade lagi dan France 2 England 1!!!
There is no word can describe it! Called Ayah di Portugal untuk sekedar berbagi sedih. Tidak nyambung! Baru ingat kalau selama meliput Euro ayah pakai nomer baru.
Saya tidak lagi bisa menangis, itu tanda saya jika mengalami kepedihan yang terlalu dalam. Orang bilang anything can happen in football, but that was the cruellest defeat you can imagine!
Telapak tangan saya yang bengkak tiba-tiba terasa perih dan panas. Cat baru di living room tiba-tiba tidak lagi terlihat cerah. Good night, especially if you're France supporter..
Sunday, June 13, 2004
Saturday, June 12, 2004
EXPECTO PATRONUM!!!
Summer dua tahun lalu, kami bertiga diundang ke pesta ulang tahun Ifkar ke-7, tetangga kami di London. Salah satu acara dalam pesta itu adalah pertunjukan ala wayang golek (golek=boneka) seorang seniman Inggris dengan boneka-boneka koleksinya dari seluruh dunia. Termasuk cepot, tokoh di wayang golek versi Sunda.
Ketika salah satu boneka, yaitu Saraswati asal India yang pintar menari meliuk-liukan badannya bak ular kobra itu beraksi, si seniman meminta hadirin untuk mengucapkan magic word. Karena Saraswati akan berubah wajah.
Empat puluh anak-anak berusia sekitar 7 tahun, teman sekelas Ifkar yang hadir di pesta itu, spontan tanpa jeda sejenak pun untuk berpikir mantra apa yang akan diucapkan kompak berteriak lantang: WINGARDIUM LEVIOSA! Tak satu pun yang salah mengucap mantra lain.
Saat itu baru saya sadar bagaimana kuatnya pengaruh Harry Potter dalam pikiran anak-anak Inggris. Wingardium Leviosa adalah spell paling terkenal dalam seri I buku dan film Harry Potter and the Philosopher's Stone.
Magic Word yang saya sangka akan dipakai anak-anak saat itu adalah simsalabim atau abrakadabra (Abrakadabra ini baru dipakai di cerita Harry Potter buku ke-4, diceritakan sebagai spell paling mematikan, yang biasa dipakai Lord Voldermort, termasuk ketika membunuh kedua orang tua Harry Potter). Simsalabim dan abrakadabra itu adalah dua mantra yang paling saya kenal, sama sekali saya tidak berpikir wingardium Leviosa, spell yang dipakai Harry Potter dkk di Hogwart untuk menerbangkan objek yang dituju.
Kesimpulan saya, generasi sekarang telah berubah dari generasi saya (yang kini telah menjadi generasi ibu-ibu mereka! )meskipun parameter yang saya gunakan mungkin terlalu sederhana, hanyalah pada pengenalan magic word/spell/mantra. Dan respondennya juga sempit, hanya 40 murid kelas 2 SD di London. Mungkin di Indonesia anak-anak juga tetap lebih hapal simsalabim atau abrakadabra.
Anyway, wingardium leviosa ala teman-teman Ifkar itu begitu membekas dalam ingatan saya. Dan sejak semalam saya memikirkan peristiwa itu lagi karena kemarin kami bertiga menonton film ketiga Harry Potter. Bukan lagi wingardium Leviosa, mantra yang menjadi highlight di buku dan film Harry Potter and Prisoner of Azkaban adalah EXPECTO PATRONUM.
Mantra itu digunakan Harry Potter untuk mengalahkan pengaruh Dementors, makhluk menyeramkan penjaga penjara Azkaban yang punya kemampuan mengerikan membangkitkan ketakutan paling dalam pada manusia dan juga menyedot kebahagian dari jiwa manusia, melalui Dementors kiss. Menurut ceritanya, jika manusia dihukum dengan ciuman Dementors itu, maka akibatnya lebih parah daripada kematian.
Ada dua kata, yang diingat Kirana usai menonton film dengan masa putar 140 menit itu. Pertama adalah Azkaban, yang diucapkan lidah Inggris dan juga Kirana sebaga Ezkeben.( "Not Azkaban mummy, It's Ezkeben"! Kata kirana selalu memprotes pengucapan ala Jawa Mummy-nya) Dan tentu saja, spell baru expecto patronum itu.
Saya membayangkan kalau misalnya saya mengundang teman-teman Kirana musim panas ini, dan mereka saya suruh mengucap mantra pastilah semua akan berteriak: EXPECTO PATRONUM! Well, Kirana setidaknya telah mahir dan yakin benar dengan meneriakan spell itu ia akan menghilangkan kemarahan Mummy-nya. Yeah, fat chance young lady!
Summer dua tahun lalu, kami bertiga diundang ke pesta ulang tahun Ifkar ke-7, tetangga kami di London. Salah satu acara dalam pesta itu adalah pertunjukan ala wayang golek (golek=boneka) seorang seniman Inggris dengan boneka-boneka koleksinya dari seluruh dunia. Termasuk cepot, tokoh di wayang golek versi Sunda.
Ketika salah satu boneka, yaitu Saraswati asal India yang pintar menari meliuk-liukan badannya bak ular kobra itu beraksi, si seniman meminta hadirin untuk mengucapkan magic word. Karena Saraswati akan berubah wajah.
Empat puluh anak-anak berusia sekitar 7 tahun, teman sekelas Ifkar yang hadir di pesta itu, spontan tanpa jeda sejenak pun untuk berpikir mantra apa yang akan diucapkan kompak berteriak lantang: WINGARDIUM LEVIOSA! Tak satu pun yang salah mengucap mantra lain.
Saat itu baru saya sadar bagaimana kuatnya pengaruh Harry Potter dalam pikiran anak-anak Inggris. Wingardium Leviosa adalah spell paling terkenal dalam seri I buku dan film Harry Potter and the Philosopher's Stone.
Magic Word yang saya sangka akan dipakai anak-anak saat itu adalah simsalabim atau abrakadabra (Abrakadabra ini baru dipakai di cerita Harry Potter buku ke-4, diceritakan sebagai spell paling mematikan, yang biasa dipakai Lord Voldermort, termasuk ketika membunuh kedua orang tua Harry Potter). Simsalabim dan abrakadabra itu adalah dua mantra yang paling saya kenal, sama sekali saya tidak berpikir wingardium Leviosa, spell yang dipakai Harry Potter dkk di Hogwart untuk menerbangkan objek yang dituju.
Kesimpulan saya, generasi sekarang telah berubah dari generasi saya (yang kini telah menjadi generasi ibu-ibu mereka! )meskipun parameter yang saya gunakan mungkin terlalu sederhana, hanyalah pada pengenalan magic word/spell/mantra. Dan respondennya juga sempit, hanya 40 murid kelas 2 SD di London. Mungkin di Indonesia anak-anak juga tetap lebih hapal simsalabim atau abrakadabra.
Anyway, wingardium leviosa ala teman-teman Ifkar itu begitu membekas dalam ingatan saya. Dan sejak semalam saya memikirkan peristiwa itu lagi karena kemarin kami bertiga menonton film ketiga Harry Potter. Bukan lagi wingardium Leviosa, mantra yang menjadi highlight di buku dan film Harry Potter and Prisoner of Azkaban adalah EXPECTO PATRONUM.
Mantra itu digunakan Harry Potter untuk mengalahkan pengaruh Dementors, makhluk menyeramkan penjaga penjara Azkaban yang punya kemampuan mengerikan membangkitkan ketakutan paling dalam pada manusia dan juga menyedot kebahagian dari jiwa manusia, melalui Dementors kiss. Menurut ceritanya, jika manusia dihukum dengan ciuman Dementors itu, maka akibatnya lebih parah daripada kematian.
Ada dua kata, yang diingat Kirana usai menonton film dengan masa putar 140 menit itu. Pertama adalah Azkaban, yang diucapkan lidah Inggris dan juga Kirana sebaga Ezkeben.( "Not Azkaban mummy, It's Ezkeben"! Kata kirana selalu memprotes pengucapan ala Jawa Mummy-nya) Dan tentu saja, spell baru expecto patronum itu.
Saya membayangkan kalau misalnya saya mengundang teman-teman Kirana musim panas ini, dan mereka saya suruh mengucap mantra pastilah semua akan berteriak: EXPECTO PATRONUM! Well, Kirana setidaknya telah mahir dan yakin benar dengan meneriakan spell itu ia akan menghilangkan kemarahan Mummy-nya. Yeah, fat chance young lady!
Tuesday, June 08, 2004
Ketika Demam Itu Datang Lagi...
Sejak dua minggu lalu tetangga saya memasang tenda gazebo di belakang rumahnya. Ia menghiasinya dengan dua bendera st George Cross besar dan beberapa bendera serupa yang bentuknya lebih kecil.
Tetangga saya itu tidak sendirian. Jika sekarang ini Anda berkeliling London atau Inggris pasti akan dijumpai rumah-rumah meriah penuh bendera (di jendela, dikebun, di atap rumah, di pintu bahkan ada yang rumahnya di cat bergambar st gerorge cross) dan mobil-mobil berbendera Inggris ( di kaca belakang, di dekat spion atau diatas mobil). Juga orang-orang mulai memakai kaos tim nasional Inggris. Itulah tandanya Inggris siap menyambut Piala Eropa 2004 yang baru akan dimulai minggu depan di Portugal.
Bagi sebagian besar orang Inggris, sepakbola adalah bagian terpenting dari hidupnya. Kehidupan dijalani dengan mengikuti irama tim sepakbola favoritnya atau timnas kalau sedang ada kompetisi antara negara, seperti Euro 2004 kali ini. Ada hukum tidak tertulis di Inggris, jangan pernah melangsungkan pesta pernikahan atau acara yang melibatkan adanya hadirin bersamaan dengan pertandingan sepakbola. Pertama, banyak yang tidak akan datang dan kedua, kalau pun datang konsentrasi mereka akan lebih kepada (mencari tahu) skor pertandingan.
Heran? Pada awalnya saya juga heran. Tepat empat tahun lalu, saya pertama kali datang ke Inggris bersamaan dengan berlangsungnya Euro 2000 di Belanda-Belgia. Saya senang menonton sepakbola dan punya tim favorit (dulu: timnas Belanda dan klub AC Milan). Saya baru sadar, kegemaran saya dan juga Indonesia --yang menganggap sebagai negara yg cinta sepakbola--tidak ada apa-apanya dibanding Inggris.
Selain asesoris di atas, seluruh kehidupan di negeri ini serasa berhenti ketika timnya bertanding. Jalanan sepi, tidak ada mobil yang melintas, hampir semua orang --yang tidak kebagian tiket pertandingan -- berada di depan layar televisi di rumah atau di bar.
Hasil pertandingan itu akan menentukan mood Inggris selanjutnya. Kalau Inggris menang, maka seluruh negeri akan bergembira bahkan ada yang dinamakan "feel good" feeling yang mendongkrak ekonomi. Mengapa? ketika tim Inggris menang maka feel good feeling itu akan disalurkan dari mulai pergi belanja sampai meningkatnya semangat kerja. Setiap timnas menang, secara ekonomi Inggris mengalami keuntungan sampai jutaan poundsterling.
Sebaliknya ketika tim Inggris kalah atau paling buruk kalau terlempar dari turnamen, maka Inggris pun berkabung nasional. Saya ingat, empat tahun lalu usai timnya tersingkir di Euro 2000 saya saksikan London seperti kota mati, sunyi sepi. Dan orang yang saya jumpai menampakan wajah sedih (bahkan sepertinya terpukul sekali) seperti ketika kerabat terdekatnya meninggal.
Heran deh, karena sepakbola saja sampai segitunya. Begitu pikir saya empat tahun lalu. Sampai datanglah Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea, dimana saya sebagai Londoner telah berganti tim favorit: timnas Inggris dan klub: Arsenal. Tanpa saya sadari gencarnya topik timnas menghadapai Piala Dunia itu juga berpengaruh begitu besar bagi saya. Ketika turnamen terbesar sepakbola itu dimulai, maka saya pun ikut terhanyut lahir dan batin. Saya bahkan dengan bersemangat ikut pasang spanduk: Come on England! suplemen dari salah satu koran, di jendela depan.
Setiap kali Inggris menang, bahagia sekali rasanya dan perasaan itu terus bertahan sampai pertandingan berikutnya. Sampai kemudian bencana itu datang ketika Inggris bertemu Brazil di perempat final. Saya ingat betul hari itu, di rumah lama di Barking Road saya melihat dari jendela jalanan begitu sepi karena semua orang menonton sepakbola.
Berdua Kirana saya menonton, well, mengintip, karena begitu tegangnya bolak-balik keluar masuk kamar untuk ngumpet. Ketika Michael Owen mencetak gol di menit-menit awal pertandingan, saya berteriak begitu kencang sampai Kirana terlompat karena kaget. Begitu senangnya saya, sampai kemudian tendangan Rivaldo di menit terakhir babak pertama menghapusnya.
Di babak kedua thing could not have got any worse ketika Ronaldinho dengan free kick yang tidak sengaja, menjebol gawang David Seaman. From that point, saya tidak sanggup lagi menatap layar televisi saya. Berdiri di depan pintu living room saya hanya bisa diam dengan air mata bercucuran. Rasa terpukul itu tidak juga hilang sampai turnaamen itu berakhir, bahkan bagi saya Piala Dunia telah berkahir saat itu. Saya tidak peduli lagi dengan pertandingan-pertandingan berikutnya.
Saya pun mengerti , ketika menjelang dimulainya pertandingan final, Des Lynam pembawa acara di ITV membuka acara siaran langsung itu dengan : Maybe you’ve been thinking that World Cup was over, but apparently not and here is the final. Sampai beberapa minggu saya menutup mata dan telinga dari apapun yang membahas partai Inggris-Brazil, saya pindah chanel ketika TV menyiarkannya dan sampai berminggu-minggu berikutnya saya tidak membaca koran.
Sejak Piala Dunia 2002 itu saya berjanji tidak akan mendukung timnas Inggris lagi, bukan karena tidak cinta lagi tetapi tidak ingin mengalami trauma itu lagi. Suami saya hanya tersenyum. "Let’s see", begitu kali pikirnya.
Tampaknya benar dugaan suami saya, tidak hanya saya tidak bisa melepaskan dari timnas Inggris justru kini ditambah lagi dengan Arsenal. Yang artinya, that feeling, bisa berulang setiap minggu, seperti ketika Arsenal dikalahkan Chelsea diperempat final Liga Champion kemarin. Kini saya hanya bisa menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan terburuk dengan tim Inggris. Akan berhasil? Tidak janji.
Seandainya ada yang baru akan memulai menyukai sepakbola di Inggris, maka anjuran saya: Don’t! Sayangnya tidak semua bertanya dulu ketika akan menonton sepakbola untuk pertama kalinya. Beberapa minggu lalu teman dekat saya, mahasiswi Indonesia di London, mengirim SMS: "Selama hidupku aku baru kali ini nonton sepakbola dari awal sampai akhir dan saya menikmatinya. Kayaknya aku akan mulai nonton sepakbola". Oh No!
Sejak dua minggu lalu tetangga saya memasang tenda gazebo di belakang rumahnya. Ia menghiasinya dengan dua bendera st George Cross besar dan beberapa bendera serupa yang bentuknya lebih kecil.
Tetangga saya itu tidak sendirian. Jika sekarang ini Anda berkeliling London atau Inggris pasti akan dijumpai rumah-rumah meriah penuh bendera (di jendela, dikebun, di atap rumah, di pintu bahkan ada yang rumahnya di cat bergambar st gerorge cross) dan mobil-mobil berbendera Inggris ( di kaca belakang, di dekat spion atau diatas mobil). Juga orang-orang mulai memakai kaos tim nasional Inggris. Itulah tandanya Inggris siap menyambut Piala Eropa 2004 yang baru akan dimulai minggu depan di Portugal.
Bagi sebagian besar orang Inggris, sepakbola adalah bagian terpenting dari hidupnya. Kehidupan dijalani dengan mengikuti irama tim sepakbola favoritnya atau timnas kalau sedang ada kompetisi antara negara, seperti Euro 2004 kali ini. Ada hukum tidak tertulis di Inggris, jangan pernah melangsungkan pesta pernikahan atau acara yang melibatkan adanya hadirin bersamaan dengan pertandingan sepakbola. Pertama, banyak yang tidak akan datang dan kedua, kalau pun datang konsentrasi mereka akan lebih kepada (mencari tahu) skor pertandingan.
Heran? Pada awalnya saya juga heran. Tepat empat tahun lalu, saya pertama kali datang ke Inggris bersamaan dengan berlangsungnya Euro 2000 di Belanda-Belgia. Saya senang menonton sepakbola dan punya tim favorit (dulu: timnas Belanda dan klub AC Milan). Saya baru sadar, kegemaran saya dan juga Indonesia --yang menganggap sebagai negara yg cinta sepakbola--tidak ada apa-apanya dibanding Inggris.
Selain asesoris di atas, seluruh kehidupan di negeri ini serasa berhenti ketika timnya bertanding. Jalanan sepi, tidak ada mobil yang melintas, hampir semua orang --yang tidak kebagian tiket pertandingan -- berada di depan layar televisi di rumah atau di bar.
Hasil pertandingan itu akan menentukan mood Inggris selanjutnya. Kalau Inggris menang, maka seluruh negeri akan bergembira bahkan ada yang dinamakan "feel good" feeling yang mendongkrak ekonomi. Mengapa? ketika tim Inggris menang maka feel good feeling itu akan disalurkan dari mulai pergi belanja sampai meningkatnya semangat kerja. Setiap timnas menang, secara ekonomi Inggris mengalami keuntungan sampai jutaan poundsterling.
Sebaliknya ketika tim Inggris kalah atau paling buruk kalau terlempar dari turnamen, maka Inggris pun berkabung nasional. Saya ingat, empat tahun lalu usai timnya tersingkir di Euro 2000 saya saksikan London seperti kota mati, sunyi sepi. Dan orang yang saya jumpai menampakan wajah sedih (bahkan sepertinya terpukul sekali) seperti ketika kerabat terdekatnya meninggal.
Heran deh, karena sepakbola saja sampai segitunya. Begitu pikir saya empat tahun lalu. Sampai datanglah Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea, dimana saya sebagai Londoner telah berganti tim favorit: timnas Inggris dan klub: Arsenal. Tanpa saya sadari gencarnya topik timnas menghadapai Piala Dunia itu juga berpengaruh begitu besar bagi saya. Ketika turnamen terbesar sepakbola itu dimulai, maka saya pun ikut terhanyut lahir dan batin. Saya bahkan dengan bersemangat ikut pasang spanduk: Come on England! suplemen dari salah satu koran, di jendela depan.
Setiap kali Inggris menang, bahagia sekali rasanya dan perasaan itu terus bertahan sampai pertandingan berikutnya. Sampai kemudian bencana itu datang ketika Inggris bertemu Brazil di perempat final. Saya ingat betul hari itu, di rumah lama di Barking Road saya melihat dari jendela jalanan begitu sepi karena semua orang menonton sepakbola.
Berdua Kirana saya menonton, well, mengintip, karena begitu tegangnya bolak-balik keluar masuk kamar untuk ngumpet. Ketika Michael Owen mencetak gol di menit-menit awal pertandingan, saya berteriak begitu kencang sampai Kirana terlompat karena kaget. Begitu senangnya saya, sampai kemudian tendangan Rivaldo di menit terakhir babak pertama menghapusnya.
Di babak kedua thing could not have got any worse ketika Ronaldinho dengan free kick yang tidak sengaja, menjebol gawang David Seaman. From that point, saya tidak sanggup lagi menatap layar televisi saya. Berdiri di depan pintu living room saya hanya bisa diam dengan air mata bercucuran. Rasa terpukul itu tidak juga hilang sampai turnaamen itu berakhir, bahkan bagi saya Piala Dunia telah berkahir saat itu. Saya tidak peduli lagi dengan pertandingan-pertandingan berikutnya.
Saya pun mengerti , ketika menjelang dimulainya pertandingan final, Des Lynam pembawa acara di ITV membuka acara siaran langsung itu dengan : Maybe you’ve been thinking that World Cup was over, but apparently not and here is the final. Sampai beberapa minggu saya menutup mata dan telinga dari apapun yang membahas partai Inggris-Brazil, saya pindah chanel ketika TV menyiarkannya dan sampai berminggu-minggu berikutnya saya tidak membaca koran.
Sejak Piala Dunia 2002 itu saya berjanji tidak akan mendukung timnas Inggris lagi, bukan karena tidak cinta lagi tetapi tidak ingin mengalami trauma itu lagi. Suami saya hanya tersenyum. "Let’s see", begitu kali pikirnya.
Tampaknya benar dugaan suami saya, tidak hanya saya tidak bisa melepaskan dari timnas Inggris justru kini ditambah lagi dengan Arsenal. Yang artinya, that feeling, bisa berulang setiap minggu, seperti ketika Arsenal dikalahkan Chelsea diperempat final Liga Champion kemarin. Kini saya hanya bisa menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan terburuk dengan tim Inggris. Akan berhasil? Tidak janji.
Seandainya ada yang baru akan memulai menyukai sepakbola di Inggris, maka anjuran saya: Don’t! Sayangnya tidak semua bertanya dulu ketika akan menonton sepakbola untuk pertama kalinya. Beberapa minggu lalu teman dekat saya, mahasiswi Indonesia di London, mengirim SMS: "Selama hidupku aku baru kali ini nonton sepakbola dari awal sampai akhir dan saya menikmatinya. Kayaknya aku akan mulai nonton sepakbola". Oh No!
Tuesday, June 01, 2004
European Premier of Harry Potter and The Prisoner of Azkaban
Minggu siang, berdua Kirana ke Leicester Square nonton Premier untuk kawasan Eropa, film ketiga Harry Potter: Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Berangkat dari rumah pk 12 siang, saya pikir cukup awal untuk dapat spot bagus karena acara dimulai pk 16.30. Sampai Leicester Square menjelang jam 13, and I was totally wrong!
Di sekitar bioskop Odeon sudah penuh sesak fans Harry Potter yang sebagian besar anak-anak belasan tahun --kalau ada orang tua, itu karena mengantar anaknya--Katanya mereka datang pk 5 pagi (wow!) untuk bisa dapat the best spot. British memang paling militan untuk urusan mengantri. Jadi ingat dua tahun lalu, dengan semangat '45 saya berangkat pk 5 pagi ke Wimbledon untuk nonton tennis , berharap dapat antrian terdepan dan dapat tiket masuk (Ayah dg tidak sopannya punya pass masuk dari kantornya!).
Sampai di Wimbledon terbengong-bengong mendapati ribuan orang yang telah mengantri dari sehari sebelumnya. Menginap memakai tenda, dengan perbekalan lengkap dari kursi sampai kompor untuk menyiapkan sarapan pagi. Banyak diantaranya tengah duduk dengan secangkir kopi sambil membaca surat kabar. Nice!
Kembali ke Harry Potter, Kirana senang sekali karena banyak poster Harry Potter and the gank, dan puluhan balon raksasa berbentuk Aunt Marge yang disihir Harry hingga membengkak tubuhnya. Tapi Kirana bingung ketika penonton lain terus-menerus berteriak: We want Dan, we want Rupert, We want Tom!". Kirana yang tidak kenal nama-nama pemeran di film , ikutan juga teriak: "We want Tom, We want Tom!", Tapi juga bertanya, "Who's Tom, Mummy ? Karena ia hanya kenal Harry, Ron, Hermione, Malfoy dll.
To my surprise, ternyata yang paling diidolakan (dari seringnya namanya dipanggil dan kerasnya teriakan histeris), justru Tom Felton alias Draco Malfoy, si licik penjilat musuh bebuyutan Harry itu. Baru kemudian Rupert Grint (Ron weasley) dan Daniel Radcliffe.Bahkan setiap kali Emma Watson (Hermione Granger) disebut justru disambut: Boooooo!! Maklum karena mayoritas adalah cewek, tampaknya mereka iri dengan Emma yang kemarin anggun sekali memakai gaun hitam dan bunga pink di rambutnya yang disanggul sederhana. Tidak salah kalau beberapa surat kabar menjulukinya sebagai Grace Kelly kecil.
Ketika Malfoy eh Tom datang, saya (yang membayangkan Draco Malfoy di buku dan filmnya)baru mengerti kenapa dia paling membuat histeris: blonde, ganteng, bermuka badung, pakai jas putih keren, tidak ada tampang licik seperti di film. Rupert juga ok, dengan rambut merahnya yang sedikit gondrong,hanya sedikit kalah "kelimis" dari Tom. Kalau Daniel, he's too nice I think. Dan sepertinya cewek-cewek remaja itu kurang suka dengan yang bertampang "anak baik".
Saya merasa sangat tua, berada diantara ribuan screeming teenager itu. Pk 17.30, ketika semua bintang sudah masuk ke Odeon, saya ajak Kirana pulang. " I dont want to go home, Mummy. I want to see Harry Potter just like everybody in here". Oh My, saya semakin merasa tua.***
Minggu siang, berdua Kirana ke Leicester Square nonton Premier untuk kawasan Eropa, film ketiga Harry Potter: Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Berangkat dari rumah pk 12 siang, saya pikir cukup awal untuk dapat spot bagus karena acara dimulai pk 16.30. Sampai Leicester Square menjelang jam 13, and I was totally wrong!
Di sekitar bioskop Odeon sudah penuh sesak fans Harry Potter yang sebagian besar anak-anak belasan tahun --kalau ada orang tua, itu karena mengantar anaknya--Katanya mereka datang pk 5 pagi (wow!) untuk bisa dapat the best spot. British memang paling militan untuk urusan mengantri. Jadi ingat dua tahun lalu, dengan semangat '45 saya berangkat pk 5 pagi ke Wimbledon untuk nonton tennis , berharap dapat antrian terdepan dan dapat tiket masuk (Ayah dg tidak sopannya punya pass masuk dari kantornya!).
Sampai di Wimbledon terbengong-bengong mendapati ribuan orang yang telah mengantri dari sehari sebelumnya. Menginap memakai tenda, dengan perbekalan lengkap dari kursi sampai kompor untuk menyiapkan sarapan pagi. Banyak diantaranya tengah duduk dengan secangkir kopi sambil membaca surat kabar. Nice!
Kembali ke Harry Potter, Kirana senang sekali karena banyak poster Harry Potter and the gank, dan puluhan balon raksasa berbentuk Aunt Marge yang disihir Harry hingga membengkak tubuhnya. Tapi Kirana bingung ketika penonton lain terus-menerus berteriak: We want Dan, we want Rupert, We want Tom!". Kirana yang tidak kenal nama-nama pemeran di film , ikutan juga teriak: "We want Tom, We want Tom!", Tapi juga bertanya, "Who's Tom, Mummy ? Karena ia hanya kenal Harry, Ron, Hermione, Malfoy dll.
To my surprise, ternyata yang paling diidolakan (dari seringnya namanya dipanggil dan kerasnya teriakan histeris), justru Tom Felton alias Draco Malfoy, si licik penjilat musuh bebuyutan Harry itu. Baru kemudian Rupert Grint (Ron weasley) dan Daniel Radcliffe.Bahkan setiap kali Emma Watson (Hermione Granger) disebut justru disambut: Boooooo!! Maklum karena mayoritas adalah cewek, tampaknya mereka iri dengan Emma yang kemarin anggun sekali memakai gaun hitam dan bunga pink di rambutnya yang disanggul sederhana. Tidak salah kalau beberapa surat kabar menjulukinya sebagai Grace Kelly kecil.
Ketika Malfoy eh Tom datang, saya (yang membayangkan Draco Malfoy di buku dan filmnya)baru mengerti kenapa dia paling membuat histeris: blonde, ganteng, bermuka badung, pakai jas putih keren, tidak ada tampang licik seperti di film. Rupert juga ok, dengan rambut merahnya yang sedikit gondrong,hanya sedikit kalah "kelimis" dari Tom. Kalau Daniel, he's too nice I think. Dan sepertinya cewek-cewek remaja itu kurang suka dengan yang bertampang "anak baik".
Saya merasa sangat tua, berada diantara ribuan screeming teenager itu. Pk 17.30, ketika semua bintang sudah masuk ke Odeon, saya ajak Kirana pulang. " I dont want to go home, Mummy. I want to see Harry Potter just like everybody in here". Oh My, saya semakin merasa tua.***
Subscribe to:
Posts (Atom)