Ketika Demam Itu Datang Lagi...
Sejak dua minggu lalu tetangga saya memasang tenda gazebo di belakang rumahnya. Ia menghiasinya dengan dua bendera st George Cross besar dan beberapa bendera serupa yang bentuknya lebih kecil.

Tetangga saya itu tidak sendirian. Jika sekarang ini Anda berkeliling London atau Inggris pasti akan dijumpai rumah-rumah meriah penuh bendera (di jendela, dikebun, di atap rumah, di pintu bahkan ada yang rumahnya di cat bergambar st gerorge cross) dan mobil-mobil berbendera Inggris ( di kaca belakang, di dekat spion atau diatas mobil). Juga orang-orang mulai memakai kaos tim nasional Inggris. Itulah tandanya Inggris siap menyambut Piala Eropa 2004 yang baru akan dimulai minggu depan di Portugal.
Bagi sebagian besar orang Inggris, sepakbola adalah bagian terpenting dari hidupnya. Kehidupan dijalani dengan mengikuti irama tim sepakbola favoritnya atau timnas kalau sedang ada kompetisi antara negara, seperti Euro 2004 kali ini. Ada hukum tidak tertulis di Inggris, jangan pernah melangsungkan pesta pernikahan atau acara yang melibatkan adanya hadirin bersamaan dengan pertandingan sepakbola. Pertama, banyak yang tidak akan datang dan kedua, kalau pun datang konsentrasi mereka akan lebih kepada (mencari tahu) skor pertandingan.
Heran? Pada awalnya saya juga heran. Tepat empat tahun lalu, saya pertama kali datang ke Inggris bersamaan dengan berlangsungnya Euro 2000 di Belanda-Belgia. Saya senang menonton sepakbola dan punya tim favorit (dulu: timnas Belanda dan klub AC Milan). Saya baru sadar, kegemaran saya dan juga Indonesia --yang menganggap sebagai negara yg cinta sepakbola--tidak ada apa-apanya dibanding Inggris.
Selain asesoris di atas, seluruh kehidupan di negeri ini serasa berhenti ketika timnya bertanding. Jalanan sepi, tidak ada mobil yang melintas, hampir semua orang --yang tidak kebagian tiket pertandingan -- berada di depan layar televisi di rumah atau di bar.
Hasil pertandingan itu akan menentukan mood Inggris selanjutnya. Kalau Inggris menang, maka seluruh negeri akan bergembira bahkan ada yang dinamakan "feel good" feeling yang mendongkrak ekonomi. Mengapa? ketika tim Inggris menang maka feel good feeling itu akan disalurkan dari mulai pergi belanja sampai meningkatnya semangat kerja. Setiap timnas menang, secara ekonomi Inggris mengalami keuntungan sampai jutaan poundsterling.
Sebaliknya ketika tim Inggris kalah atau paling buruk kalau terlempar dari turnamen, maka Inggris pun berkabung nasional. Saya ingat, empat tahun lalu usai timnya tersingkir di Euro 2000 saya saksikan London seperti kota mati, sunyi sepi. Dan orang yang saya jumpai menampakan wajah sedih (bahkan sepertinya terpukul sekali) seperti ketika kerabat terdekatnya meninggal.

Heran
deh, karena sepakbola saja sampai segitunya. Begitu pikir saya empat tahun lalu. Sampai datanglah Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea, dimana saya sebagai Londoner telah berganti tim favorit: timnas Inggris dan klub: Arsenal. Tanpa saya sadari gencarnya topik timnas menghadapai Piala Dunia itu juga berpengaruh begitu besar bagi saya. Ketika turnamen terbesar sepakbola itu dimulai, maka saya pun ikut terhanyut lahir dan batin. Saya bahkan dengan bersemangat ikut pasang spanduk:
Come on England! suplemen dari salah satu koran, di jendela depan.
Setiap kali Inggris menang, bahagia sekali rasanya dan perasaan itu terus bertahan sampai pertandingan berikutnya. Sampai kemudian bencana itu datang ketika Inggris bertemu Brazil di perempat final. Saya ingat betul hari itu, di rumah lama di Barking Road saya melihat dari jendela jalanan begitu sepi karena semua orang menonton sepakbola.
Berdua Kirana saya menonton,
well, mengintip, karena begitu tegangnya bolak-balik keluar masuk kamar untuk ngumpet. Ketika Michael Owen mencetak gol di menit-menit awal pertandingan, saya berteriak begitu kencang sampai Kirana terlompat karena kaget. Begitu senangnya saya, sampai kemudian tendangan Rivaldo di menit terakhir babak pertama menghapusnya.
Di babak kedua thing could not have got any worse ketika Ronaldinho dengan free kick yang tidak sengaja, menjebol gawang David Seaman. From that point, saya tidak sanggup lagi menatap layar televisi saya. Berdiri di depan pintu living room saya hanya bisa diam dengan air mata bercucuran. Rasa terpukul itu tidak juga hilang sampai turnaamen itu berakhir, bahkan bagi saya Piala Dunia telah berkahir saat itu. Saya tidak peduli lagi dengan pertandingan-pertandingan berikutnya.
Saya pun mengerti , ketika menjelang dimulainya pertandingan final, Des Lynam pembawa acara di ITV membuka acara siaran langsung itu dengan : Maybe you’ve been thinking that World Cup was over, but apparently not and here is the final. Sampai beberapa minggu saya menutup mata dan telinga dari apapun yang membahas partai Inggris-Brazil, saya pindah chanel ketika TV menyiarkannya dan sampai berminggu-minggu berikutnya saya tidak membaca koran.
Sejak Piala Dunia 2002 itu saya berjanji tidak akan mendukung timnas Inggris lagi, bukan karena tidak cinta lagi tetapi tidak ingin mengalami trauma itu lagi. Suami saya hanya tersenyum. "Let’s see", begitu kali pikirnya.
Tampaknya benar dugaan suami saya, tidak hanya saya tidak bisa melepaskan dari timnas Inggris justru kini ditambah lagi dengan Arsenal. Yang artinya, that feeling, bisa berulang setiap minggu, seperti ketika Arsenal dikalahkan Chelsea diperempat final Liga Champion kemarin. Kini saya hanya bisa menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan terburuk dengan tim Inggris. Akan berhasil? Tidak janji.
Seandainya ada yang baru akan memulai menyukai sepakbola di Inggris, maka anjuran saya: Don’t! Sayangnya tidak semua bertanya dulu ketika akan menonton sepakbola untuk pertama kalinya. Beberapa minggu lalu teman dekat saya, mahasiswi Indonesia di London, mengirim SMS: "Selama hidupku aku baru kali ini nonton sepakbola dari awal sampai akhir dan saya menikmatinya. Kayaknya aku akan mulai nonton sepakbola". Oh No!