My Beloved Green Street Market
Terletak di London Timur, di samping Stasiun Upton Park, dekat West Ham Stadion, adalah pasar favorit saya di London. Dua setengah tahun pertama saya di London, rumah kontrakan kami tidak jauh dari pasar itu, jalan kaki 10 menit.
Kini, setelah kami pindah ke South East London, jarak ke Green Street Market yang kadang juga disebut dengan Upton Park Market, menjadi 1 jam dengan kendaraan umum. Naik bus 472 ke North Greenwich stasiun, pindah kereta jubilee line (2 stop) turun West Ham stasiun, pindah ke platform kereta Distric Line (2 stop) turun Upton Park stasiun.
Kecintaan saya dengan pasar itu membuat saya kenal betul seluk-beluk Green Street Market, bahkan kenal dengan beberapa pedagangnya. Di antara teman-teman di London, saya dikenal sebagai yang paling ahli mengenai Green Street Market. Sampai kini, setiap ada teman yang akan ke Green Street Market atau mencari sesuatu yang "aneh-aneh" pasti akan menelpon saya dulu.
Pasar itu menyerupai pasar tradisional Indonesia, dengan segala macam sayuran, buah dan daging serta ikan yang berasal dari Asia dan Afrika. Karena memang di pasar itu sebagian besar penjualnya berasal dari Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Afrika. Sesuai dengan East London yang memang kawasan tempat tinggal dua etnis tersebut.
Selain harga yang jauh lebih murah dibanding tempat lain di London, keistimewaan lain Green Street Market adalah tersedianya banyak toko daging halal. Seingat saya diseputar pasar itu dan sepanjang Green Steet, hanya ada satu butcher yang menjual daging tidak halal. Butcher di Green Street, selain halal juga menjual jenis-jenis daging yang tidak akan ditemui di supermarket/butcher Inggris.
Mulai dari hati (ayam, kambing, sapi), ampela, babat, paru, kaki, tulang iga, buntut sapi, berderet segar maupun frozen di Green Street Market. Dan "daging-daging aneh itu" dijual dengan harga sangat murah, bahkan dibanding pasar Indonesia sekalipun. Mungkin karena konsumennya terbatas dibanding stoknya, maklum orang Inggris asli tidak akan pernah meliriknya. Tapi doyan memakannya juga asal tidak tahu. Saya pernah memasak sate padang dengan lidah sapi, teman-teman bule di kantor suami saya lahap menyantapnya. "Jangan bilang-bilang itu dibuat dari lidah, " kata teman suami yang asal Indonesia ke saya.
Suami saya suka sekali babat goreng, setiap kali ia membawa lunch box ke kantor berlauk babat, teman-temanya begitu iri hingga meminta saya untuk membuatkan juga untuk mereka. Inilah awal mula bisnis kecil-kecilan kembangan.com. Salah satu teman kantor suami bercerita ke saya bahwa ia pernah menemukan babat di supermarket. "Tapi setelah dimasak rasanya tidak lagi seperti babat, lebih mirip karet", katanya.
Kembali ke Green Street, butcher favorit saya ada di tengah pasar (saya tidak pernah tahu namanya) bersebelahan dengan Toko Ambrosia. Beberapa pelayannya bahkan kenal baik dengan saya. "Where have you been?" katanya ketika saya lama tidak muncul. "Where is your baby?" ketika saya belanja tanpa Kirana. Dan teman saya (tetangga di East London yg dulu sering saya temani belanja) bercerita bahwa ketika ia belanja sendiri, akan ditanya, "Where is your sister?"
Saya juga punya tempat beli sayuran "bule" favorit, di depan toko ikan Lobbo, si Ibu tua yang menjaga dagangan selalu menyapa saya ramah, "what do you want today my dear?" . Pernah saya menanyakan apakah saya bisa membeli sesuatu dalam porsi sangat sedikit, ia pun menjawab, "anyting is possible my dear".
Sementara untuk sayuran "Asia" macam pare, cabai, daun talas untuk bikin buntil (salah satu menu favorit di kembangan.com), kunyit segar, dan bumbu-bumbu lain saya punya langganan di toko milik orang India di pasar bagian belakang. Yang paling khas dari toko itu adalah musik India yang diputar kencang-kencang.
Di luar pasar, sepanjang Green Street berderet toko-toko India menjual pakaian, perhiasan dan makanan India. Yang tidak mungkin saya ceritakan mendetail karena akan memerlukan beberapa halaman blog. Di deretan toko ini saya pun menemukan bumbu-bumbu aneh seperti daun sirih, kapur sirih, dan bawang goreng terenak dan termurah di London (hanya 99 pence).
Ada satu toko yang selalu kami kunjungi setiap kali ke Green Street Market, yaitu toko Fish and Chips (jajanan tradisional Inggris, ikan goreng tepung dan kentang goreng) halal di depan pasar. Menurut saya dan suami saya (dan orang Indonesia lain yg pernah mencicipinya) toko ini menjual chips terenak di London. Toko ini juga favorit buat Kirana, yang selalu meminta 1 box kecil chips and chicken seharga 1 pound. Kini fish and Chips itu juga menjual kebab, yang rasanya juga enak. Meskipun masih kalah dengan toko The Best Turkis Kebab di Barking Rd, dekat West Ham stadion yang bagi kami adalah the best in London, dengan chili sauce handmade rasa Indonesia.
Dua minggu lalu adalah kali terakhir saya ke Green Street Market. Saya ingat beli kaki ayam dan separuh paha kambing. Semalam saya meminta suami saya untuk men-defrozed keduanya. Tadi pagi , kebetulan badan saya terasa enak, saya membuat makanan favorit saya, kaki ayam (ceker) bacem dan favorit suami saya, kambing guling.
Kaki ayam saya ungkep dengan bumbu jahe, ketumbar (coriander), kunyit (turmeric),garam, asam jawa (tamarind) dan bawang putih ,semua dihaluskan ditambah daun salam . Diamkan sampai empuk dan wangi kemudian dambah kecap sampai rata. Dan dua menit sebelum diangkat disiram minyak goreng beberapa sendok. Kaki ayam resep dari nenek saya itu adalah makanan terenak yang saya rasakan beberapa hari terakhir. Dengan nasi hangat, Kirana pun ternyata suka. Berdua kami duduk di tangga menikmatinya. "Kirana mau lagi," katanya minta tambah, tumben pakai bahasa Indonesia. Mungkin gara-gara makan ceker.
Untuk kambing guling, saya lumuri paha kambing dengan ketumbar, bawang putih, kecap, dan minyak, kemudian di oven sampai matang. Dipotong-potong, di siram bumbu kecap (onion, cabai rawit, tomat dipotong-potong dan disiram kecap).
Kalau ditanya satu hal yang "you can't live without in London", jawaban saya pastilah: Green Street Market!
Sunday, February 29, 2004
Saturday, February 28, 2004
"Five leg" Restaurant dan Gordon Ramsay
Tanggal 25 Februari lalu, saya membaca sebuah artikel di G2, suplemen harian The Guardian yang (menurut saya) sangat menarik. Artikel yang berjudul How the other half cooks intinya memberi komentar kepada kompor milik Gordon Ramsay: chef paling terkenal di Inggris, punya beberapa restauran top, terkenal galak dan suka mengumpat, makanannya sangat mahal tetapi orang harus booking jauh-jauh hari (months in advance if you're not a celebrity) untuk bisa makan di restaurannya.
Gordon baru membeli sebuah kompor-oven berharga £67 ribu (sebagai perbandingan=separuh harga rumah yang kami tempati). Bukan untuk salah satu restaurannya, tetapi untuk dipasang dirumahnya. Dengan berat mencapai 2,5 ton maka Gordon harus membongkar atap rumahnya untuk memasang kompornya itu. Saya bayangkan prosesnya seperti halnya menempatkan konstruksi jembatan di atas sungai.
Well ada kompor semahal itu membuat saya takjub dan kenyataan bahwa ada orang yang mau membelinya lebih menakjubkan lagi! Artikel di Guardian juga berpendapat kurang lebih sama dengan saya, dan menyebut Gordon dan kompornya itu sebagai the unprofesional.
Yang membuat saya tersenyum adalah tokoh yang dibuat perbandingan oleh Guardian, yang disebut mereka sebagai the Profesional, yaitu: Djayusman Saputra, seorang pedagang kaki lima di Jakarta dengan kompor masaknya.
Djayusman membeli kompor bersumbu 16, karena tidak mampur membeli yang bersumbu 26, tahun 1990 di Surabaya seharga Rp 30 ribu. Menurut Guardian, 15 tahun lalu, Rp 30 ribu berarti £8,5 tetapi kini harga kompor model itu harganya dua kali lipat Rp 60 ribu namun dengan kurs usai krismon menjadi hanya £3,85.
Kompor 16-flame model itu adalah yang sehari-hari menjadi tumpuan hidup keluarga Djayusman yang berjualan nasi gule di seputar Senayan. Satu dari ribuan apa yang disebut Guardian sebagai "five leg" restaurans. Menurut Guardian ( suami saya bahkan baru tahu), istilah kaki lima itu berasal dari: the cart’s two wheel, the "chef’s" two legs and the cart's support stand.
Setiap hari, pk 2.00 dinihari Djayusman berdua istrinya pergi ke pasar belanja bahan gule dan sampai rumah istrinya yang memasak dan ia menjadi asisten. Untuk mendapatkan "good spot" Djayusman berangkat pk 6.30 pagi dan pulang sekitar pk 18.00. Dari pendapatannya per hari Rp 200 ribu, ia mendapatkan untung bersih Rp 50 ribu (£3,15)
Dalam sehari ia memasak 10 kg beras, cukup untuk 80 porsi dengan harga nasi gule-nya adalah Rp 3.500 per porsi. Ia memasaknya di rumah dengan kompornya -- 26-flame single burner -- dan kompor 16-flame stove made in Surabaya itu di gerobaknya untuk membuat gulenya tetap hangat.
Tidak pernah ada masalah Djayusman dengan kompornya. Dua masalah atau musuh Djayusman hanyalah : hujan dan city public-order officials (petugas dari Pemda itu, I suppose), yang sering melakukan rasia. "Luckily, they don’t know how to stage a surprise raid, so we usually have time to escape. We just pack up as fast as we can and run for it. Then we come back the next day and start again".
Kesimpulan Guardian adalah: it’s not the cooker but the cook that makes the meal. Kalau Djayusman dan keluarganya bisa hidup dengan mengandalkan kompor Rp 30 ribu-nya, saya tidak sepantasnya mengeluh memasak di dapur berukuran 2,5 X 2 meter. Dan setidaknya saya tidak perlu membongkar atap rumah untuk memasang oven kecil saya. Lebih beruntung lagi karena technically saya tidak membelinya: it’s comes with the house.
Tanggal 25 Februari lalu, saya membaca sebuah artikel di G2, suplemen harian The Guardian yang (menurut saya) sangat menarik. Artikel yang berjudul How the other half cooks intinya memberi komentar kepada kompor milik Gordon Ramsay: chef paling terkenal di Inggris, punya beberapa restauran top, terkenal galak dan suka mengumpat, makanannya sangat mahal tetapi orang harus booking jauh-jauh hari (months in advance if you're not a celebrity) untuk bisa makan di restaurannya.
Gordon baru membeli sebuah kompor-oven berharga £67 ribu (sebagai perbandingan=separuh harga rumah yang kami tempati). Bukan untuk salah satu restaurannya, tetapi untuk dipasang dirumahnya. Dengan berat mencapai 2,5 ton maka Gordon harus membongkar atap rumahnya untuk memasang kompornya itu. Saya bayangkan prosesnya seperti halnya menempatkan konstruksi jembatan di atas sungai.
Well ada kompor semahal itu membuat saya takjub dan kenyataan bahwa ada orang yang mau membelinya lebih menakjubkan lagi! Artikel di Guardian juga berpendapat kurang lebih sama dengan saya, dan menyebut Gordon dan kompornya itu sebagai the unprofesional.
Yang membuat saya tersenyum adalah tokoh yang dibuat perbandingan oleh Guardian, yang disebut mereka sebagai the Profesional, yaitu: Djayusman Saputra, seorang pedagang kaki lima di Jakarta dengan kompor masaknya.
Djayusman membeli kompor bersumbu 16, karena tidak mampur membeli yang bersumbu 26, tahun 1990 di Surabaya seharga Rp 30 ribu. Menurut Guardian, 15 tahun lalu, Rp 30 ribu berarti £8,5 tetapi kini harga kompor model itu harganya dua kali lipat Rp 60 ribu namun dengan kurs usai krismon menjadi hanya £3,85.
Kompor 16-flame model itu adalah yang sehari-hari menjadi tumpuan hidup keluarga Djayusman yang berjualan nasi gule di seputar Senayan. Satu dari ribuan apa yang disebut Guardian sebagai "five leg" restaurans. Menurut Guardian ( suami saya bahkan baru tahu), istilah kaki lima itu berasal dari: the cart’s two wheel, the "chef’s" two legs and the cart's support stand.
Setiap hari, pk 2.00 dinihari Djayusman berdua istrinya pergi ke pasar belanja bahan gule dan sampai rumah istrinya yang memasak dan ia menjadi asisten. Untuk mendapatkan "good spot" Djayusman berangkat pk 6.30 pagi dan pulang sekitar pk 18.00. Dari pendapatannya per hari Rp 200 ribu, ia mendapatkan untung bersih Rp 50 ribu (£3,15)
Dalam sehari ia memasak 10 kg beras, cukup untuk 80 porsi dengan harga nasi gule-nya adalah Rp 3.500 per porsi. Ia memasaknya di rumah dengan kompornya -- 26-flame single burner -- dan kompor 16-flame stove made in Surabaya itu di gerobaknya untuk membuat gulenya tetap hangat.
Tidak pernah ada masalah Djayusman dengan kompornya. Dua masalah atau musuh Djayusman hanyalah : hujan dan city public-order officials (petugas dari Pemda itu, I suppose), yang sering melakukan rasia. "Luckily, they don’t know how to stage a surprise raid, so we usually have time to escape. We just pack up as fast as we can and run for it. Then we come back the next day and start again".
Kesimpulan Guardian adalah: it’s not the cooker but the cook that makes the meal. Kalau Djayusman dan keluarganya bisa hidup dengan mengandalkan kompor Rp 30 ribu-nya, saya tidak sepantasnya mengeluh memasak di dapur berukuran 2,5 X 2 meter. Dan setidaknya saya tidak perlu membongkar atap rumah untuk memasang oven kecil saya. Lebih beruntung lagi karena technically saya tidak membelinya: it’s comes with the house.
Friday, February 13, 2004
Setelah beberapa minggu dilalui dengan tidak sabar, apalagi dengan iklan gencar skyone di jalanan: "if you don't get skyone, you don't get Jack Bauer".Tadi malam Jack Bauer kembali datang, tidak di BBC seperti dua seri sebelumnya. Tetapi di televisi kabel milik Rupert Murdoch, yang harus bayar paling murah 18 pound untuk bisa menontonnya.
Begitulah, setelah sukses mengharuskan Inggris membayar ritual terpenting dalam hidup sebagian besar warganya: menonton sepakbola. Karena Sky Sport selalu menjadi pemenang dalam tender pemegang hak siar Liga Inggris, yang artinya yang ingin menonton Liga, harus membayar setidaknya 33 pound per bulan (paket Sky Sport World : akan dapat Sky Sport 1,2,3, extra dan Sky Sport News).
Terjadi lagi kasus serupa dengan tender film 24. Ketika BBC tidak sepakat harga dengan Fox, pemilik serial 24, maka kembali BSB (British Sky Broadcasting) lah yang juga mendapatkannya. Salah satu yang melemahkan bargain position BBC dalam negosiasi dengan Fox, saya kira juga adanya Sky yang siap membayar berapa saja.
Bukan karena pembela BBC, kalau saya katakan lebih senang dengan Jack Bauer di BBC Two setiap minggu malam dan bukan di sky one setiap Kamis malam. Tetapi, selain memaksa penonton untuk berlangganan sky (saya belum lihat figur terakhirnya tetapi pasti melonjak dengan adanya 24 di Sky One). Karena berarti 24 diselingi dengan iklan!
BBC, seperti juga TVRI mengharamkan iklan. Dananya dari iuran televisi, TV licence yang mencapai sekitar 110 pound per tahun. Tidak mahal, kalau dibandingkan dengan sky karena BBC juga punya banyak channel, BBC One, BBC Two, BBC Three, BBC Four, BBC News 24, BBC Parlemen, CBBC dan Cbeebies (televisinya Kirana). Dan tentu saja visi dan misi programnya beda dengan BSB.
Bukan karena berlebihan uang, kalau saya berlangganan BSB. Tetapi karena pekerjaan saya dan suami saya yang mengharuskannya. Dan karena kepentingan kami terutama untuk menonton pertandingan langsung Liga Inggris, maka artinya kami ikut andil 33 pound per bulan menambah kaya Rupert Murdoch.
Karena itu pula, saya bisa menonton 24 seri 3 di Sky One tadi malam pk 21.00 GMT. Ceritanya adalah 3 tahun setelah episode 2, yaitu "jabat tangan beracun" Presiden David Palmer (terkena racun di tangannya yang ditularkan dengan cara bersalaman). Palmer tidak mati, tetapi kayaknya masih menyimpan racun itu di tubuhnya. Dan guest what? Palmer pacaran dengan dokternya!
Sementara sang jagoan, Jack Bauer, tampaknya juga ada yang salah di tubuhnya. Belum diceritakan apa sebabnya, tetapi tanda-tanda ketidakberesan itu sudah kelihatan.
Di waktu yang sama, CTU mendapatkan kiriman mayat beracun yang mengandung virus baru. Bisa ditebak kalau kemudian muncul ancaman bahwa virus serupa yang akan mematikan setelah 24 jam, akan tersebar di Amerika kalau Salazar, pengedar obat yang punya link dengan teroris (yang ditangkap Jack Bauer selama epiode 2 dan epiose baru ini: berarti 3 th) tidak dibebaskan.
Ketika si pengancam itu menyatakan bahwa ada beberapa orang pembawa virus selain si mayat dan ketika kunjugan terakhir Jack ke Zalasar ia mengancam: apa yang terjadi kemudian ada hubungannya dengan dirimu. Entah apa yang akan terjadi di episode-episode berikutnya, karena 24 adalah the best dalam menciptakan kejutan-kejutan di setiap episodenya.
Kejutan di episode pertama seri 3 ini adalah, Kim anak perempuan Jack kerja di CTU, mungkin daripada menimbulkan masalah yang mengganggu konsentrasi Jack (di seri 1 diculik dan seri 2 dituduh membunuh). Ditempatkan di CTU berarti akan selalu dalam awasan Jack dan agen yang lain. tapi dasar Kim, ia pun pacaran dengan partner baru Jack di CTU. oh...oh!
So, 24 minggu ke depan saya akan kembali bersama Jack."The longest day in my life" bagi Jack Bauer, berarti juga 24 jam terpanjang bagi setiap penontonnya: 6 bulan.
Subscribe to:
Posts (Atom)